selamat datang di website resmi fakultas hukum universitas darussalam ambon kelas c masohi

selamat datang di website resmi fakultas hukum universitas darussalam ambon kampus c masohi

Selasa, 26 Maret 2013

TELAAH AKSIOLOGI DEMOKRASI

Telaah Aksiologi Demokrasi
Oleh: Dayanto*)
(Dosen Fakultas Hukum Unidar Ambon)


Sekalipun telah lebih dari 10 tahun kita berada di babakan pasca orde baru, namun diskursus konsolidasi demokrasi masih memiliki nilai aktualitas yang kuat terutama ketika perhatian kita lebih diarahkan kepada isu-isu populis kerakyatan seperti perbaikan ekonomi yang menyentuh pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar rakyat, pemberantasan korupsi, penuntasan kasus-kasus HAM, buruknya pelayanan publik, dsb. Isu-isu ini nampak kontradiktif dengan publikasi dari Freedom Institute bahwa saat ini Indonesia menjadi negara penganut dan menjalankan demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan India, apalagi capaian ini dikaitkan dengan fakta bahwa Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia sehingga majalah “The Economics” mendaulat kaum muslim Indonesia sebagai prototipe muslim moderat di dunia.
Dengan demikian isu konsolidasi demokrasi lebih menghujam pada diskursus yang tidak saja ontologis, tetapi juga aksiologis, dan metodologis secara sekaligus. Artinya isu konsolidasi demokrasi secara sekaligus adalah diskursus mengenai apa yang menjadi tujuan (aksiologi) dari agenda konsolidasi demokrasi ini serta bagaimana tahap menuju (metode) konsolidasi demokrasi yang menjadi kesatuan logis dari tujuan konsolidasi demokrasi.
Tulisan ini menelaah secara singkat dua tipikal demokrasi dilihat dari sisi aksiologi yang dibangun berdasarkan asumsi-asumsinya yang khas.


Demokrasi Prosedural
Publikasi Freedom Institute dan majalah “the economics” dapat terafirmasi ketika konsolidasi demokrasi diletakkan pada jalan pikiran proseduralistik atau yang lebih dikenal dengan label demokrasi prosedural. Dimana demokrasi menurut jalan pikiran ini adalah instalasi lembaga-lembaga demokratis plus aturan main demokratis yang memungkinkan setiap warga dapat berkontestasi memperebutkan jabatan-jabatan politik. Bagi Schumpeter misalnya, demokrasi adalah tekhnis politik dalam pergantian rezim secara tertib dan damai, dimana si pemenang memperoleh legitimasi untuk berkuasa dan si kalah memberikan kesempatan kepada si pemenang untuk berkuasa sesuai limitasi periode kekuasaannya.
Asumsi-asumsi demokrasi prosedural ini dibangun dalam kerangka pemahaman bahwa: Pertama, partisipasi politik harus terkuantifikasi berdasarkan jumlah pemilih (voter), bukan soal apakah seseorang itu adalah pemilih kritis yang memiliki otonomi pilihan dan ketercukupan informasi dalam menentukan preferensi politiknya ataukah pemilih yang sudah dibeli (buying voter) yang preferensi politiknya ditentukan oleh “amplop” dan “sembako”.
Kedua, pengabaian terhadap apa yang dikatakan oleh Lynn Karl sebagai kekeliruan elektoralisme. Yakni kecurangan yang secara sistematis dan by design dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki akses kuat terhadap penyelenggaraan elektoral (anggota KPU/Panwas, incumbent dan birokrasinya, Parpol, dsb).
Ketiga, mengenai prasyarat menjadi kontestan politik demokrasi prosedural berbasis pada kriteria normatif yang diatur dalam UU. Soal Si kontestan memiliki kapasitas yang unggul, baik visi maupun dalam bentuk karya yang mendatangkan benefit bagi publik bukanlah hal penting, walhasil banyak incumbent yang sekalipun dianggap gagal tanpa malu-malu tetap mencalonkan diri menjadi kontestan.
Keempat, selain itu demokrasi prosedural sebagai demokrasi yang minimalis (minimalis democracy) mempertegas distingsi antara demokrasi dengan isu-isu seperti pencapaian kesejahteraan rakyat, peningkatan daya saing bangsa, dsb. Bagi demokrasi prosedural, demokrasi adalah alat (tools) untuk dirinya sendiri. Implikasinya demokrasi diandaikan sebagai agenda yang bebas nilai dari tujuan-tujuan eksoterik diluar dirinya.

Demokrasi Substansif
Berbeda dengan asumsi-asumsi yang dibangun oleh demokrasi prosedural di atas demokrasi substansif lebih berbasis pada upaya memberdayakan eksistensi individu dan sosial warga negara sebagai subjek-pelaku demokrasi. Dengan demikian demokrasi tidak bisa dipisahkan dari sisi eksoterisme yang melingkupi dirinya, terbalik dengan asumsi penganut demokrasi prosedural yang mengandaikan demokrasi semata-mata sebagai tekhnis politik. Sisi eksoterisme ini merupakan entitas yang terbangun dengan sendirinya (built in) dalam keutuhan eksistensi warga negara sebagai manusia. Aristoteles mengingatkan bahwa hakekat tujuan bernegara adalah demi menciptakan kebahagiaan publik (bonnum publicum).
Dengan demikian demokrasi tidak bisa dipisahkan dari upaya membangun welfare state dalam sebuah negara. Demokrasi harus peduli dengan kondisi rakyat yang kelaparan, kesulitan mendapatkan pekerjaan, kesulitan menikmati pendidikan ataupun kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan. Demokrasi harus peduli terhadap ekonomi negara yang terus membungkuk, martabat bangsa yang kian dilecehkan oleh negara lain, serta nasib negara hukum (nomokrasi) yang semakin tergilas oleh kekuatan kleptokrasi yang menggila.
Demokrasi substantif bekerja berdasarkan pemuliaan eksistensi warga negara sebagai manusia subjek demokrasi bukan pembendaan (reifikasi) manusia, yang merepresi preferensi politik warga negara dengan membagi-bagi duit (money politic). Praktek politik seperti ini adalah penghinaan, pelecehan, dan penodaan yang keji terhadap martabat politik warga negara sebagai manusia subjek-pelaku demokrasi. Bagi demokrasi substansif idea dalam politik adalah segala-galanya sebagai perwujudan kesatuan manusia sebagai makhluk berpikir dan makhluk berpolitik. “Aku berpikir maka aku berpolitik” sebagai manifesto antitesis atas dogma “Aku dibayar maka Aku berpolitik”. Demokrasi ini sekaligus dapat menjadi sumber nilai, ide, dan inspirasi untuk membangun sektor perlawanan yang efektif terhadap segala daya-upaya pendangkalan politik yang machiavelistik.
Dengan demokrasi substansif, jabatan-jabatan politik merupakan arena utama untuk mengabdi dan mendatangkan benefit bagi publik. Dalam jalan pikiran ini, kompetisi politik adalah kompetisi karya dan prestasi, bukan sebaliknya perang citra dan obral janji yang kosong substansi. Sikap preventif dapat terbangun bagi calon kontestan yang sedang berkuasa ataupun ingin berkuasa untuk lebih awal melakukan evaluasi diri (self evaluation) sebelum benar-benar memastikan diri untuk menjadi kontestan demikian juga secara multipler effect kepada partai dalam memastikan kontestannya. Partisipasi, kontestasi, dan liberasi politik dalam demokrasi tidak bermakna apa-apa jika demokrasi tereduksi menjadi semata-mata  tekhnis politik. ***
(Harian Rakyat Maluku, 8 Maret 2013)

1 komentar:

  1. karenanya, jika demokrasi tidak mengatasi bentuknya yang hanya sekedar mengabsahkan sebuah kekuasaan belaka, maka proseduralisme demokrasi juga mengandung sebuah ancaman laten.
    Pertama, demokrasi akan dibajak mereka yang sejatinya anti demokrasi, sehingga pembajak setelah berkuasa akan “membakar jembatan dan tangga” untuk mencapai kekuasaan itu.
    Kedua, demokrasi akan dibajak orang-orang kaum berpunya, sehingga pemenang dalam tarung demokrasi adalah mereka yang bermodal dan pemodal itu sendiri. Demokrasi akhirnya keluar dari tujuannya, dengan pelanggaran masih banyak terjadi dan demokrasi hanya sebatas dimaknai terlaksananya Pesta Demokrasi meskipun itu dilakukan dengan segala kecurangan. Sindiran para ahli politik dengan istilah defisit demokrasi, seremonial demokrasi, politik biaya tinggi (mahal), ironi demokrasi, demokrasi semu, dan lain sebagainya merupakan gambaran wajah demokrasi lokal kita saat ini.

    BalasHapus