AKTA
ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA
Oleh
: Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, M.H.
(Hakim
Pengadilan Agama Mojokerto)
A.
Pendahuluan
Hukum
pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang
sangat kompleks dalam proses ligitasi. Kompleksitas itu akan semamin rumit
karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth).
Meskipun kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran
yang absolut (ultimate truth), tetapi kebenaran yang bersifat relatif
atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk menemukan
kebenaran yang demikian pun tetap menghadapi kesulitan (John. J. Cound, CS,
1985).
“Membuktian”
adalah meyakinkan hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak
dalam sutau perkara atau sengketa. Menburut M. Yahya Harahap, SH. (1991 :01),
pembuktikan adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum
pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan
peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang
diperkarakan. Sedangkan menurut R. Subekti (1978 :5) pembuktian adalah suatu daya
upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang
dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.
Dalam
hukum, acara permbuktian mempunyai arti yuridis, yaitu memberi dasar-dasar yang
cukup kepada hakim yang memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya guna
menemukan dan memberi kepastian tentang kebenaran (Sudikno Mertokusumo, 1998 :
109)
Pembuktian
bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan
kepada hakim. Menurut Prof. DR. H. Abdul Manan, SH. S.IP, M.Hum (2006 : 228),
dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formal.
Kebenaran formal yang dicari oleh hakim dalam arti bahwa hakim tidak boleh
melampau batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara. Dalam praktik
peradilan, sebenarnya hakim dituntut untuk mencari kebenaran materil terhadap
perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu adalah untuk
meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwa-peristiwa tertentu sehingga hakim dalam mengkonstatir, mengkualifisir
dan mengkonstitutir, serta mengambil keputusan berdasarkan kepada pembuktian
tersebut. Jadi, kebenaran formal maupun kebenaran meteril yang dicari oleh
hakim harus dicari secara bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara yang
diajukan kepadanya. Menurut Suyling, pembuktian tidak hanya memberikan
kepastian kepada hakim tapi justru berarti membuktikan terjadinya suatu peristiwa,
yang tidak tergantung pada tindakan para pihak (seperti pada persangkaan) dan
tidak tergantung pada keyakinan hakim (seperti pada pengakuan dan sumpah).
Sedangkan menurut Arema, pembuktian adalah memberikan kepastian hakim tentang
peristiwa-peristiwa hukum dengan alat-alat bukti tertentu untuk dapat
mengabulkan akibat hukum yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa itu oleh
hakum.
Dari
beberapa pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pembuktian adalah upaya para
pihak yang berperkaya untuk meyakinkan hakim akan kebenaran suatu peristiwa
atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang berperkara atau bersengketa
dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh paraturan perundang-undangan
dalam suatu sengketa yang sedang berlangsung atau sedang diperiksa oleh majelis
hakim di persidangan di mana para pihak mengajukan dalil-dalil yang saling
bertentangan. Dalam hal ini hakim harus memeriksa secara cermat selanjutnya
menetapkan dalil-dalil mana yang benar dan dalil-dalil mana yang tidak benar,
sehingga harus ditolak.
Berdasarkan
pemeriksaan yang cermat dan sekasama itu, hakim kemudian menetapkan hukum atau
suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui
pembuktian sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pembuktian
yuridis lazim juga disebut pembuktian historis, karena dalam pembuktian itu
hakim memeriksa peristiwa yang telah terjadi dulu (masa lalu) dengan
menggunakan alat-alat bukti atau data-data yang ada sekarang.
Pembuktian
yuridis tidak sama dengan pembuktian ilmiah di lapangan ilmu pengetahuan alam
(ilmu pasti). Pembuktian ilmu di lapangan ilmu pasti obyeknya adalah benda mati
yang tidak berjiwa, sedangkan dalam pembuktian yuridis adalah peristiwa atau
kejadian yang berhubungan dengan tingkah laku manusia yang terdiri dari unsur
jasmani dan rohani. Oleh karena itu dalam ilmu alam/pasti membuktikan berarti
memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan
tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian ini dikenal sebagai
pembuktian logis. Sedangkan dalam pembuktian yuridis hanya berlaku bagi para
pihak yang berperkara atau bersengketa saja atau yang memperoleh hak dari
mereka, sehingga pembuktian yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Oleh
karena itu, menurut Sri Wardah, SH.,SU dan Bambang Sutiyoso, SH.M.Hum, 2007:
125 ada kemungkinan pengakuan, kesaksian, dan dokumen yang diajukan kepada
hakim mengandung ketidakbenaran atau kepalsuan, maka pembuktian yuridis tidak
menutup kemungkinan adanya bukti lawan. Jadi kepastian kebenaran di pengadilan
tidak perlu mutlak, cukup layak saja. Hakim harus memberikan putusan meskipun
belum memperoleh kapastian (mutlak) tentang kebenaran peristiwa atau kejadian
yang diajukan. Oleh karena itu, menurut Sudikno Mertokusumo, SH., obyektifitas
hakim dalam putusannya cukuplah apabila ia dapat memberi perlakuan yang sama
dalam hukum (tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap pihak, pemeriksaan dan
putusan yang sama dalam perkara yang sama).
Menurut
M. Yahya Harahap, SH., (2007: 498), dalam proses peradilan perdata, kebenaran
yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel waarheid).
Dari diri dan sanubari hakim, tidak dituntut keyakinan. Para pihak yang
berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan,
namun yang demikian secara teoritis harus diterima oleh hakim untuk melindungi
atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.
Dalam
kerangka sistem pembuktian itu, menurut M. Yahya Harahap, sekiranya tergugat
mengakui dalil penggugat, meskipun itu bohong atau palsu, hakim harus menerima
kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu, tergugat
dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan.
B.
Urgensi Pembuktian
Prinsip
umum yang harus dipegang adalah bahwa hakim tidak dibenarkan mengambil putusan
tanpa pembuktian. Dikabulkan atau ditolaknya suatu gugatan, mesti didasarkan
pada pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak yang
berperkara. Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta.
Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada fakta-fakta yang mendukungnya. Oleh
karena itu, pembuktian menjadi sesuatu yang sangat penting dalam pemeriksaan
perkara di persidangan. Dengan pembuktian, hakim akan mendapat gambaran yang
jelas terhadap peristiwa atau kejadian yang sedang menjadi perkara atau
sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal itu, maka perlu pembahasan
tentang apa yang harus dibuktikan dan siapa yang harus dibebani pembuktian
dalam suatu perkara atau sengketa.
1.
Apa yang harus dibuktikan.
Sebagaimana
telah diuraikan di atas, bahwa pembuktian bertujuan untuk mencari kebenaran dan
kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa atau kejadian yang
dikemukakan oleh para pihak di persidangan yang belum jelas atau yang menjadi
sengketa.
Jadi,
yang harus dibuktikan oleh para pihak adalah peristiwa atau kejadian yang telah
dikonstatir dan dikualifisir. Peristiwa atau kejadian yang wajib dibuktikan di
persidangan harus memenuhi syarat-syarat : (1) peristiwa atau kejadian yang
disengketakan; (2) peristiwa atau kejadian itu harus dapat diukur, terikat oleh
ruang dan waktu ;(3) peristiwa atau kejadian itu harus berkaitan dengan hak
yang disengketakan ; (4) peristiwa atau kejadian itu efektif untuk dibuktikan;
dan (5) peristiwa atau kejadian tersebut tidak dilarang oleh hukum dan
kesusilaan (Prof. DR. H. Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum, 2006 :229-230).
2.
Pihak yang Dibebani Pembuktian
Pasal
163 HIR menyatakan bahwa barangsiapa yang mengakui mempunyai hak, atau ia
menyebutkan suatu perbuatan untuk memguatkan haknya itu, atau untuk membantah
hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya
kejadian itu. Dalam Pasal 283 RBg disebutkan bahwa barangsiapa beranggapan
mempunyai suatu hak atau keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak
orang lain, maka ia harus membuktikan hak atau keadaan itu. Pasal 1865 KUH
Perdata pada prinsipnya sama dengan kedua ketentuan tersebut, bahwa barangsiapa
yang menagku mempunyai hak, maka harus membuktikan adanya hak itu atau
peristiwa yang didalilkan itu.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang harus
membuktikan atau dibebani pembuktian adalah para pihak yang berkepentingan
dalam suatu perkara, terutama penggugat yang mendalilkan sesuatu dalam
gugatannya, sedangkan bagi tergugat berkewajiban untuk membuktikan dalil-dalil
bentahannya. Penggugat tidak berkewajiban membuktikan kebenaran bantahan
tergugat, demikian juga sebaliknya tergugat tidak berkewajiban untuk
membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh penggugat.
Apabila penggugat tidak mampu membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian
yang didalilkan dalam gugatannya, maka ia harus dikalahkan. Sebaliknya, apabila
tergugat tidak mampu membuktikan kebenaran dalil-dalil bantahannya, maka ia
harus pula dikalahkan.
C.
Alat-Alat Bukti Perkara Perdata
Di
dalam doktrin dikenal banyak klasifikasi alat bukti di antaranya apa yang
dikemukakan oleh G.W Paton dan Sir Ronald Burrows. Menurut G.W Paton alat bukti
terdiri dari : oral, yaitu alat bukti yang bersifat lisan seperti
kesaksian, pengakuan, dan sumpah; documentary, yaitu alat bukti tertulis
atau surat, dan materiil, yaitu alat bukti dalam wujud benda-benda
fisik/konkret selain alat bukti tertulis, misalnya foto, klise, kaset, tape,
video, film, gambar, peta, dan sebagainya.
Sir
Roland Burrows, membedakan alat bukti ke dalam tiga pembedaan :
a. Pembedaan atas alat bukti yang orisinil (orginal
evidence), yaitu kesaksian yang diberikan langsung di persidangan dan yang
tidak orisinil (unoriginal evidence), yaitu kesaksian yang diberikan
secara tertulis. Dalam hukum acara perdata Indonesia kesaksian tertulis berlaku
sebagai alat bukti tertulis di samping bukti tertulis lainnya.
b. Pembedaan atas alat bukti primer (primary
evidence) merupakan alat bukti yang diutamakan (dalam hukum acara perdata
Indonesia alat bukti tulisan merupakan alat bukti utama) dan alat bukti
sekunder (secondary evidence), yaitu alat bukti yang baru dibutuhkan
jika alat bukti primer tidak ada.
c. Pembedaan atas alat bukti direct
evidence, yaitu semua alat bukti yang secara langsung dapat membuktikan
adanya peristiwa yang ingin dibuktikan (bukan berdasarkan kesimpulan belaka),
misalnya surat, saksi, pengakuan, sumpah; dan indirect evidence, yaitu
alat bukti yang tidak langsung atau berdasarkan penarikan kesimpulan misalnya
persangkaan-persangkaan.
Menurut
hukum positif Indonesia (HIR/RBg/BW), hakim terikat dengan alat-alat bukti yang
sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan
alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Pasal
164 HIR/284 RBg/1866 BW menyebutkan bahwa alat-alat bukti ialah :
1.
Surat atau tulisan;
2.
Saksi ;
3.
Persangkaan ;
4.
Sumpah ;
Di
samping alat-alat bukti tersebut, dalam ketentuan HIR dan RBg juga disebutkan
alat bukti lainnya, yaitu :
1. Pemeriksaan setempat (descente)
yang diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg/211 Rv.
2. Keterangan ahli (expertise), yang
diatur dalam Pasal 154 HIR/181 RBg/215 Rv.
D.
Alat Bukti Akta Elektronik
Dalam
satu dasawarsa terakhir ini, teknologi informasi dan telekomunikasi mengalami
kemajuan yang sangat pesat dan akselerasi yang luar biasa. Beberapa produk
teknologi itu antara lain internet yang dapat digunakan sebagai media untuk
melakukan transaksi. Dengan pesatnya teknologi informasi, melalui internet pola
kegiatan perdagangan yang dilakukan dengan cara kontak fisik dapat dirubah
dengan pola perdagangan yang dilakukan secara elektronik atau kontak dagang
elektronik (electronis commerce atau e-commerce) atau di bursa
efek dikenal dengan online trading.
Dalam
melakukan kontak dagang secara elektronik (e-commerce) terdapat suatu
sistem pengamakan bagi para pihak yang melakukan transaksi yang disebut digital
signature, yaitu suatu pengaman pada data digital yang dibuat dengan kunci
tanda tangan pribadi (private signature key) yang penggunaannya
tergantung pada kunci publik (public key) yang menjadi pasangannya.
Eksistensi digital signature ditandai dengan keluarnya sebuah sertifikat
kunci tanda tangan (signature key certificate) dari suatu badan pembuat
sertifikat. Dalam sertifikatn itu ditentukan nama pemilik kunci tanda tangan
dan karakter dari data yang sudah ditandatangani. Hal ini belum mendapat
pengaturan dalam sistem hukum pembuktian perdata di Indonesia.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 15 Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan,
menentukan bahwa dokumen perusahaan yang dibuat dalam bentuk bukan kertas atau
tulisan (paperless system) yang kemudian dialihkan dalam bentuk macrofilm
atau media lainnya (microfische, facsimile, CD-ROM, dan lain-lain),
dan atau hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti yang sah. Dokumen perusahaan
yang dialihkan ke dalam microfilm atau media lainnya wajib dilegilaisasi
oleh pimpinan perusahaan dan harus dibuatkan berita acaranya.
Dengan
ketentuan tersebut, maka hukum telah mulai menjangkau ke arah pembuktian data
elektronik. Walaupun undang-undang tersebut, tidak mengatur tentang pembuktian,
namun undang-undang tersebut telah memberi kemungkinann kepada dokumen
perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis (autentik)
untuk diamankan melalui penyimpanan dalam media eloktronik seperti microfilm.
Terhadap dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronik atau microfilm atau
paperless ini dapat dijadikan alat bukti yang sah. Di samping itu,
menurut Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso (2007) dokumen yang disimpan dalam
bentuk elektronik atau paperless telah memberi peluang luas terhadap
pemahaman atas alat bukti, yaitu : dokumen keuangan terdiri dari catatan, bukti
pembukuan, dan data pendukung administrasi keuangan yang merupakan bukti adanya
hak dan kewajiban serta kegiatan usaha perusahan (Pasal 3 UU No. 8/1997). Dalam
dokumen lainnya terdiri dari data atau setiap hal yang berisi keterangan yang
mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait langsung dengan
dokumen perusahaan (Padsal4 UU No. 8/1997).
Dalam
surat MA bertanggal 14 Januari 1988 No. 39/TU/88/102/PID yang ditujukan kepada
Menteri Kehakiman, mengemukakan pendapatnya bahwa microfilm dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan
menggantikan alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 185 (1) sub C
KUHAP dengan catatan microfilm dijamin autentikasinya yang dapat
ditelusuri kembali dari registerasi atau berita acara. Menurut Sudikno
Mertikusumo, 1984 : 135, hal tersebut berlaku pula terhadap perkara perdata.
Selain
internet, produk teknologi informasi lain yang tidak kalah canggihnya adalah
telepon seluler (ponsel). Kecanggihan suatu ponsel dapat dilihat dari
fitur-fitur yang ditawarkan. Namun, selalu ada fitur standar. Dalam hal ini,
berupa Short Messaging Service (SMS) yang menarik untuk dicermati, sebab
SMS sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari para pengguna ponsel. Pola
interaksi yang sebelumnya mengharuskan tatap muka dengan seseorang, telah
tergantikan dengan komunikasi via gelombang, mesin, atau kabel.
Fenomena
sosial menggunakan SMS sebagai media komunikasi pada umumnya mirip atau sama
dengan pengguna jenis komunikasi lain berupa aktivitas chatting, BBM
maupun blog. Motivasi pengguna media komunikais tersebut, pada umumnya
sebagai hiburan, mempererat silaturrahim dengan keluarga atau pertemanan. SMS
juga seringkali digunakan sebagai pelanjut hubungan dari dunia cyber guna
pengakraban diri, dan difungsikan oleh individu-individu yang sudah saling
kenal ketika offline. Melalui SMS seseorang dapat menyatakan kehendak
hatinya untuk menyampaikan buah pikirannya atau curahan isi hatinya kepada
orang lain yang sudah dikenalnya. Dalam perkembangannya SMS juga banyak
digunakan dalam aktivitas dunia hiburan (intertainment), dunia
pendidikan (pendaftaran mahasiswa baru misalnya), instansi pemerintahan, dan
sebagai media pengaduan bagi instansi atau lembaga yang menyediakan layanan
pengaduan via SMS.
Jika
dilihat dari segi alat bukti, SMS dapat dikategorikan sebagai bentuk alat bukti
tertulis. Hal ini dapat diketahui dari karakteristik SMS yang berbasis pada
komunikasi teks dan pencitraannya dibangun dari rangkaian karakteristik
huruf-huruf dan atau tanda baca tulis tertentu. Dengan demikian, ciri SMS sama
dengan ciri alat bukti tertulis.
Seperti
halnya dengan alat bukti tertulis (surat) yang dibedakan menjadi akta dan surat
biasa, dalam dunia elektronik juga dibedakan antara akta elektronik dan buka
akta elektronik. Jika akta elektronik dapat dipadankan dengana akta
(autentik/di bawah tangan), maka SMS dapat dipadankan surat-surat biasa (bukan
akta). Hal ini dapat dilihat dari segi ciri dan fungsi penggunaan masing-masing
media elektronik tersebut. Akta elektronik sejak semula dibuat sebagai bukti
adanya peristiwa atau kejadian, hubungan hukum yang dimuat di dalamnya dan
menjadi dasar suatu perikatan atau transaksi, dan adanya unsur tanda tangan (digital
signature) yang menjadi ciri suatu akta. Sedangkan SMS tidak memiliki ciri
demikian, melainkan hanya korespondensi biasa, tidak memiliki unsur tanda
tangan dan tidak dimaksudkan sebagai alat bukti.
Dengan
demikian, jika SMS diperlukan sebagai alat bukti, maka sifat kekuatan
pembuktiannya sama dengan surat-surat biasa, yakni diserahkan sepenuhnya kepada
penilaian dan kebijakan hakim.
E.
Kekuatan Bukti Akta Elektronik
Dari
berbagai persoalan hukum yang timbul berkaitan dengan e-commerce, salah
satunya adalah masalah kekuatan akta elektronik sebagai alat bukti pada
transaksi e-commerce dalam Sistem Hukum Indonesia. Banyak kalangan yang
meragukan apakah akta elektronik dapat dianggap sebagai suatu tulisan sehingga
dapat dijadikan alat bukti. Prof. Abu Bakar Munir mengemukakan bahwa suatu
pesan data (data message) dianggap sebagai suatu informasi tertulis
apabila informasi itu dapat diakses dan dapat dipergunakan sebagai acuan
selanjutnya. Bila tanda tangan dalam transaksi e-commerce diperlukan
oleh aturan hukum, maka hal itu dipenuhi jika digunakan metode identifikasi
yang dapat dipercaya (reliable) seperti tanda tangan elektronik (e-signature).
Berkaitan
dengan tanda tangan elektronik dalam akta elektronik pada transaksi elektronik,
perlu dibedakan antara tanda tangan elektronik (e-signature) dengan
tanda tangan digital (digital signature). Menurut Sutan Sjahdeini dalam
artikelnya dalam Jurnal Bisnis, Vol. 18, Maret 2002 berjudul Sistem
Pengamanan E-Commerce, Tanda tangan elektronik (e-signature) adalah
data dalam bentuk elektronis yang melekat atau secara logika dapat diasosiakan
sebagai suatu pesan data (data message) yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi penandatangan pesan data tersebut untuk menunjukkan
persetujuannya terhadap informasi yang terdapat dalam pesan data tersebut.
Sedangkan tanda tangan digital (digital signature) merupakan suatu
istilah dari suatu teknologi tertentu dari e-signature. Digital signature melibatkan
penggunaan infrastruktur kunci publik (public key infrastructure) atau cryptography
untuk menandatangani suatu pesan. Dalam legislasi Malaysia, digital
signature diartikan sebagai suatu transformasi pesan dengan menggunakan cryptosystem
assimetric sehingga orang yang memiliki pesan awal dan menandatangani kunci
publik dapat secara akurat ditetapkan.
Menurut
M. Yahya Harahap, SH., (2007 : 563), jika merujuk pada ketentuan Pasal 1874 KUH
Perdata, maka tanda tangan digital (digital signature), tidak dikenal.
Oleh karena itu belum diakui keabsahannya, namun menurut beliau dengan melihat
perkembangan E-Commerce, sudah saatnya untuk diterima keabsahannya.
Sedangkan menurut Sri Wrdah, SH., SU dan Bambang Sutiyoso, SH, M.Hum, apabila
hakim ragu untuk mengambil keputusan sehubungan dengan belum adanya UU khusus Cyber
Law yang mengatur tentang alat bukti akta elektronik, sudah selayaknya
apabila hal itu dapat diatasi oleh hakim dengan melakukan penemuan hukum atau
melakukan penafsiran secara analogis atau ekstensif dari ketentuan hakum yang
berlaku (existing laws). Dengan demikian, permasalahan hukum yang timbul
tetap dapat diambil keputusan yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan, tanpa
harus menunggu lahirnya UU bidang Cyber Law.
Pada
dasarnya akta elektronik mempunyai kedudukan yang sama sebagai alat bukti
sebagaimana akta yang lazim kita kenal selama ini. Penafsiran terhadap
ketentuan hukum yang ada mendukung kekuatan pembuktian akta elektronik. Oleh
karena itu, ke depan perlu dipikirkan bentuk pengaturan yang ideal bagi
penggunaan akta elektronik dalam transaksi e-commerce sehingga menjadi
alat bukti yang sah dalam perkara perdata.
DAFTAR
BACAAN :
1. Prof. DR. Abdul Manan, SH., S.IP, M.Hum, Penerapan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Pencana Prenada Media,
Jakarta, 2006.
2. Abdul Kadir Muhammad, SH., Hukum Acara
Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
3. DR. A. Mukti Arto, SH., MH., Praktek
Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
4. DR. Ahmad Mujahidin, MH., Pembaharuan
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia,
IKAHI, Jakarta, 2008.
5. Krisna Harahap, SH., Hukum Acara Perdata
Teori dan Praktik, Grafiti Budi Utami, Bandung, 1996.
6. M. Yahya Harahap, SH., Hukum Acara
Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
7. Sudikno Mertokusumo, Beberapa Asas Pembuktian
Perdata dalam Praktik, Liberty, Yogyakarta, 1980.
8. M.
Ramli, Perlindungan Hukum tTrhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce,
Jurnal Bisnis Vol. 18, Maret 2002.
9.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesiam Liberty, Yogyakarta,
1998.
10.
Pilto, Pembuktian dan Daluwarsa (terjemahan), Intermasa, Jakarta 1978.
11.
Sri Wardah, SH., SU. Dan Bambang Sutiyoso, SH., M.Hum, Hukum Acara Perdata
dan Perkembangannya di Indoensia, Gama Media, Yogyakarta, 2007.
12. Sutan Sjahdeini, Sistem Pengamanan
E.Commerce, Jurnal Bisnis Vol. 18, Maret 2002.
mohon izin mengutip
BalasHapus