selamat datang di website resmi fakultas hukum universitas darussalam ambon kelas c masohi

selamat datang di website resmi fakultas hukum universitas darussalam ambon kampus c masohi

Senin, 05 November 2012

AKTA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA

AKTA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA
Oleh : Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Mojokerto)
A. Pendahuluan
Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses ligitasi. Kompleksitas itu akan semamin rumit karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang absolut (ultimate truth), tetapi kebenaran yang bersifat relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk menemukan kebenaran yang demikian pun tetap menghadapi kesulitan (John. J. Cound, CS, 1985).
“Membuktian” adalah meyakinkan hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam sutau perkara atau sengketa. Menburut M. Yahya Harahap, SH. (1991 :01), pembuktikan adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan menurut R. Subekti (1978 :5) pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.
Dalam hukum, acara permbuktian mempunyai arti yuridis, yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya guna menemukan dan memberi kepastian tentang kebenaran (Sudikno Mertokusumo, 1998 : 109)

Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Menurut Prof. DR. H. Abdul Manan, SH. S.IP, M.Hum (2006 : 228), dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formal. Kebenaran formal yang dicari oleh hakim dalam arti bahwa hakim tidak boleh melampau batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara. Dalam praktik peradilan, sebenarnya hakim dituntut untuk mencari kebenaran materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu sehingga hakim dalam mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstitutir, serta mengambil keputusan berdasarkan kepada pembuktian tersebut. Jadi, kebenaran formal maupun kebenaran meteril yang dicari oleh hakim harus dicari secara bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Menurut Suyling, pembuktian tidak hanya memberikan kepastian kepada hakim tapi justru berarti membuktikan terjadinya suatu peristiwa, yang tidak tergantung pada tindakan para pihak (seperti pada persangkaan) dan tidak tergantung pada keyakinan hakim (seperti pada pengakuan dan sumpah). Sedangkan menurut Arema, pembuktian adalah memberikan kepastian hakim tentang peristiwa-peristiwa hukum dengan alat-alat bukti tertentu untuk dapat mengabulkan akibat hukum yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa itu oleh hakum.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkaya untuk meyakinkan hakim akan kebenaran suatu peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang berperkara atau bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh paraturan perundang-undangan dalam suatu sengketa yang sedang berlangsung atau sedang diperiksa oleh majelis hakim di persidangan di mana para pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Dalam hal ini hakim harus memeriksa secara cermat selanjutnya menetapkan dalil-dalil mana yang benar dan dalil-dalil mana yang tidak benar, sehingga harus ditolak.
Berdasarkan pemeriksaan yang cermat dan sekasama itu, hakim kemudian menetapkan hukum atau suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembuktian yuridis lazim juga disebut pembuktian historis, karena dalam pembuktian itu hakim memeriksa peristiwa yang telah terjadi dulu (masa lalu) dengan menggunakan alat-alat bukti atau data-data yang ada sekarang.
Pembuktian yuridis tidak sama dengan pembuktian ilmiah di lapangan ilmu pengetahuan alam (ilmu pasti). Pembuktian ilmu di lapangan ilmu pasti obyeknya adalah benda mati yang tidak berjiwa, sedangkan dalam pembuktian yuridis adalah peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan tingkah laku manusia yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Oleh karena itu dalam ilmu alam/pasti membuktikan berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian ini dikenal sebagai pembuktian logis. Sedangkan dalam pembuktian yuridis hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara atau bersengketa saja atau yang memperoleh hak dari mereka, sehingga pembuktian yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Oleh karena itu, menurut Sri Wardah, SH.,SU dan Bambang Sutiyoso, SH.M.Hum, 2007: 125 ada kemungkinan pengakuan, kesaksian, dan dokumen yang diajukan kepada hakim mengandung ketidakbenaran atau kepalsuan, maka pembuktian yuridis tidak menutup kemungkinan adanya bukti lawan. Jadi kepastian kebenaran di pengadilan tidak perlu mutlak, cukup layak saja. Hakim harus memberikan putusan meskipun belum memperoleh kapastian (mutlak) tentang kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan. Oleh karena itu, menurut Sudikno Mertokusumo, SH., obyektifitas hakim dalam putusannya cukuplah apabila ia dapat memberi perlakuan yang sama dalam hukum (tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap pihak, pemeriksaan dan putusan yang sama dalam perkara yang sama).
Menurut M. Yahya Harahap, SH., (2007: 498), dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Dari diri dan sanubari hakim, tidak dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun yang demikian secara teoritis harus diterima oleh hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.
Dalam kerangka sistem pembuktian itu, menurut M. Yahya Harahap, sekiranya tergugat mengakui dalil penggugat, meskipun itu bohong atau palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu, tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan.
B. Urgensi Pembuktian
Prinsip umum yang harus dipegang adalah bahwa hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Dikabulkan atau ditolaknya suatu gugatan, mesti didasarkan pada pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak yang berperkara. Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta. Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada fakta-fakta yang mendukungnya. Oleh karena itu, pembuktian menjadi sesuatu yang sangat penting dalam pemeriksaan perkara di persidangan. Dengan pembuktian, hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa atau kejadian yang sedang menjadi perkara atau sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal itu, maka perlu pembahasan tentang apa yang harus dibuktikan dan siapa yang harus dibebani pembuktian dalam suatu perkara atau sengketa.
1. Apa yang harus dibuktikan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa pembuktian bertujuan untuk mencari kebenaran dan kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak di persidangan yang belum jelas atau yang menjadi sengketa.
Jadi, yang harus dibuktikan oleh para pihak adalah peristiwa atau kejadian yang telah dikonstatir dan dikualifisir. Peristiwa atau kejadian yang wajib dibuktikan di persidangan harus memenuhi syarat-syarat : (1) peristiwa atau kejadian yang disengketakan; (2) peristiwa atau kejadian itu harus dapat diukur, terikat oleh ruang dan waktu ;(3) peristiwa atau kejadian itu harus berkaitan dengan hak yang disengketakan ; (4) peristiwa atau kejadian itu efektif untuk dibuktikan; dan (5) peristiwa atau kejadian tersebut tidak dilarang oleh hukum dan kesusilaan (Prof. DR. H. Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum, 2006 :229-230).
 2. Pihak yang Dibebani Pembuktian
Pasal 163 HIR menyatakan bahwa barangsiapa yang mengakui mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk memguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Dalam Pasal 283 RBg disebutkan bahwa barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang lain, maka ia harus membuktikan hak atau keadaan itu. Pasal 1865 KUH Perdata pada prinsipnya sama dengan kedua ketentuan tersebut, bahwa barangsiapa yang menagku mempunyai hak, maka harus membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang didalilkan itu.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang harus membuktikan atau dibebani pembuktian adalah para pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara, terutama penggugat yang mendalilkan sesuatu dalam gugatannya, sedangkan bagi tergugat berkewajiban untuk membuktikan dalil-dalil bentahannya. Penggugat tidak berkewajiban membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian juga sebaliknya tergugat tidak berkewajiban untuk membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh penggugat. Apabila penggugat tidak mampu membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian yang didalilkan dalam gugatannya, maka ia harus dikalahkan. Sebaliknya, apabila tergugat tidak mampu membuktikan kebenaran dalil-dalil bantahannya, maka ia harus pula dikalahkan.

C. Alat-Alat Bukti Perkara Perdata
Di dalam doktrin dikenal banyak klasifikasi alat bukti di antaranya apa yang dikemukakan oleh G.W Paton dan Sir Ronald Burrows. Menurut G.W Paton alat bukti terdiri dari : oral, yaitu alat bukti yang bersifat lisan seperti kesaksian, pengakuan, dan sumpah; documentary, yaitu alat bukti tertulis atau surat, dan materiil, yaitu alat bukti dalam wujud benda-benda fisik/konkret selain alat bukti tertulis, misalnya foto, klise, kaset, tape, video, film, gambar, peta, dan sebagainya.
Sir Roland Burrows, membedakan alat bukti ke dalam tiga pembedaan :
a. Pembedaan atas alat bukti yang orisinil (orginal evidence), yaitu kesaksian yang diberikan langsung di persidangan dan yang tidak orisinil (unoriginal evidence), yaitu kesaksian yang diberikan secara tertulis. Dalam hukum acara perdata Indonesia kesaksian tertulis berlaku sebagai alat bukti tertulis di samping bukti tertulis lainnya.
b. Pembedaan atas alat bukti primer (primary evidence) merupakan alat bukti yang diutamakan (dalam hukum acara perdata Indonesia alat bukti tulisan merupakan alat bukti utama) dan alat bukti sekunder (secondary evidence), yaitu alat bukti yang baru dibutuhkan jika alat bukti primer tidak ada.
c. Pembedaan atas alat bukti direct evidence, yaitu semua alat bukti yang secara langsung dapat membuktikan adanya peristiwa yang ingin dibuktikan (bukan berdasarkan kesimpulan belaka), misalnya surat, saksi, pengakuan, sumpah; dan indirect evidence, yaitu alat bukti yang tidak langsung atau berdasarkan penarikan kesimpulan misalnya persangkaan-persangkaan.
Menurut hukum positif Indonesia (HIR/RBg/BW), hakim terikat dengan alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Pasal 164 HIR/284 RBg/1866 BW menyebutkan bahwa alat-alat bukti ialah :
1. Surat atau tulisan;
2. Saksi ;
3. Persangkaan ;
4. Sumpah ;
Di samping alat-alat bukti tersebut, dalam ketentuan HIR dan RBg juga disebutkan alat bukti lainnya, yaitu :
1. Pemeriksaan setempat (descente) yang diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg/211 Rv.
2. Keterangan ahli (expertise), yang diatur dalam Pasal 154 HIR/181 RBg/215 Rv.
D. Alat Bukti Akta Elektronik
Dalam satu dasawarsa terakhir ini, teknologi informasi dan telekomunikasi mengalami kemajuan yang sangat pesat dan akselerasi yang luar biasa. Beberapa produk teknologi itu antara lain internet yang dapat digunakan sebagai media untuk melakukan transaksi. Dengan pesatnya teknologi informasi, melalui internet pola kegiatan perdagangan yang dilakukan dengan cara kontak fisik dapat dirubah dengan pola perdagangan yang dilakukan secara elektronik atau kontak dagang elektronik (electronis commerce atau e-commerce) atau di bursa efek dikenal dengan online trading.
Dalam melakukan kontak dagang secara elektronik (e-commerce) terdapat suatu sistem pengamakan bagi para pihak yang melakukan transaksi yang disebut digital signature, yaitu suatu pengaman pada data digital yang dibuat dengan kunci tanda tangan pribadi (private signature key) yang penggunaannya tergantung pada kunci publik (public key) yang menjadi pasangannya. Eksistensi digital signature ditandai dengan keluarnya sebuah sertifikat kunci tanda tangan (signature key certificate) dari suatu badan pembuat sertifikat. Dalam sertifikatn itu ditentukan nama pemilik kunci tanda tangan dan karakter dari data yang sudah ditandatangani. Hal ini belum mendapat pengaturan dalam sistem hukum pembuktian perdata di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, menentukan bahwa dokumen perusahaan yang dibuat dalam bentuk bukan kertas atau tulisan (paperless system) yang kemudian dialihkan dalam bentuk macrofilm atau media lainnya (microfische, facsimile, CD-ROM, dan lain-lain), dan atau hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti yang sah. Dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam microfilm atau media lainnya wajib dilegilaisasi oleh pimpinan perusahaan dan harus dibuatkan berita acaranya.
Dengan ketentuan tersebut, maka hukum telah mulai menjangkau ke arah pembuktian data elektronik. Walaupun undang-undang tersebut, tidak mengatur tentang pembuktian, namun undang-undang tersebut telah memberi kemungkinann kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis (autentik) untuk diamankan melalui penyimpanan dalam media eloktronik seperti microfilm. Terhadap dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronik atau microfilm atau paperless ini dapat dijadikan alat bukti yang sah. Di samping itu, menurut Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso (2007) dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronik atau paperless telah memberi peluang luas terhadap pemahaman atas alat bukti, yaitu : dokumen keuangan terdiri dari catatan, bukti pembukuan, dan data pendukung administrasi keuangan yang merupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha perusahan (Pasal 3 UU No. 8/1997). Dalam dokumen lainnya terdiri dari data atau setiap hal yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen perusahaan (Padsal4 UU No. 8/1997).
Dalam surat MA bertanggal 14 Januari 1988 No. 39/TU/88/102/PID yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman, mengemukakan pendapatnya bahwa microfilm dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 185 (1) sub C KUHAP dengan catatan microfilm dijamin autentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registerasi atau berita acara. Menurut Sudikno Mertikusumo, 1984 : 135, hal tersebut berlaku pula terhadap perkara perdata.
Selain internet, produk teknologi informasi lain yang tidak kalah canggihnya adalah telepon seluler (ponsel). Kecanggihan suatu ponsel dapat dilihat dari fitur-fitur yang ditawarkan. Namun, selalu ada fitur standar. Dalam hal ini, berupa Short Messaging Service (SMS) yang menarik untuk dicermati, sebab SMS sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari para pengguna ponsel. Pola interaksi yang sebelumnya mengharuskan tatap muka dengan seseorang, telah tergantikan dengan komunikasi via gelombang, mesin, atau kabel.
Fenomena sosial menggunakan SMS sebagai media komunikasi pada umumnya mirip atau sama dengan pengguna jenis komunikasi lain berupa aktivitas chatting, BBM maupun blog. Motivasi pengguna media komunikais tersebut, pada umumnya sebagai hiburan, mempererat silaturrahim dengan keluarga atau pertemanan. SMS juga seringkali digunakan sebagai pelanjut hubungan dari dunia cyber guna pengakraban diri, dan difungsikan oleh individu-individu yang sudah saling kenal ketika offline. Melalui SMS seseorang dapat menyatakan kehendak hatinya untuk menyampaikan buah pikirannya atau curahan isi hatinya kepada orang lain yang sudah dikenalnya. Dalam perkembangannya SMS juga banyak digunakan dalam aktivitas dunia hiburan (intertainment), dunia pendidikan (pendaftaran mahasiswa baru misalnya), instansi pemerintahan, dan sebagai media pengaduan bagi instansi atau lembaga yang menyediakan layanan pengaduan via SMS.
Jika dilihat dari segi alat bukti, SMS dapat dikategorikan sebagai bentuk alat bukti tertulis. Hal ini dapat diketahui dari karakteristik SMS yang berbasis pada komunikasi teks dan pencitraannya dibangun dari rangkaian karakteristik huruf-huruf dan atau tanda baca tulis tertentu. Dengan demikian, ciri SMS sama dengan ciri alat bukti tertulis.
Seperti halnya dengan alat bukti tertulis (surat) yang dibedakan menjadi akta dan surat biasa, dalam dunia elektronik juga dibedakan antara akta elektronik dan buka akta elektronik. Jika akta elektronik dapat dipadankan dengana akta (autentik/di bawah tangan), maka SMS dapat dipadankan surat-surat biasa (bukan akta). Hal ini dapat dilihat dari segi ciri dan fungsi penggunaan masing-masing media elektronik tersebut. Akta elektronik sejak semula dibuat sebagai bukti adanya peristiwa atau kejadian, hubungan hukum yang dimuat di dalamnya dan menjadi dasar suatu perikatan atau transaksi, dan adanya unsur tanda tangan (digital signature) yang menjadi ciri suatu akta. Sedangkan SMS tidak memiliki ciri demikian, melainkan hanya korespondensi biasa, tidak memiliki unsur tanda tangan dan tidak dimaksudkan sebagai alat bukti.
Dengan demikian, jika SMS diperlukan sebagai alat bukti, maka sifat kekuatan pembuktiannya sama dengan surat-surat biasa, yakni diserahkan sepenuhnya kepada penilaian dan kebijakan hakim.
E. Kekuatan Bukti Akta Elektronik
Dari berbagai persoalan hukum yang timbul berkaitan dengan e-commerce, salah satunya adalah masalah kekuatan akta elektronik sebagai alat bukti pada transaksi e-commerce dalam Sistem Hukum Indonesia. Banyak kalangan yang meragukan apakah akta elektronik dapat dianggap sebagai suatu tulisan sehingga dapat dijadikan alat bukti. Prof. Abu Bakar Munir mengemukakan bahwa suatu pesan data (data message) dianggap sebagai suatu informasi tertulis apabila informasi itu dapat diakses dan dapat dipergunakan sebagai acuan selanjutnya. Bila tanda tangan dalam transaksi e-commerce diperlukan oleh aturan hukum, maka hal itu dipenuhi jika digunakan metode identifikasi yang dapat dipercaya (reliable) seperti tanda tangan elektronik (e-signature).
Berkaitan dengan tanda tangan elektronik dalam akta elektronik pada transaksi elektronik, perlu dibedakan antara tanda tangan elektronik (e-signature) dengan tanda tangan digital (digital signature). Menurut Sutan Sjahdeini dalam artikelnya dalam Jurnal Bisnis, Vol. 18, Maret 2002 berjudul Sistem Pengamanan E-Commerce, Tanda tangan elektronik (e-signature) adalah data dalam bentuk elektronis yang melekat atau secara logika dapat diasosiakan sebagai suatu pesan data (data message) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penandatangan pesan data tersebut untuk menunjukkan persetujuannya terhadap informasi yang terdapat dalam pesan data tersebut. Sedangkan tanda tangan digital (digital signature) merupakan suatu istilah dari suatu teknologi tertentu dari e-signature. Digital signature melibatkan penggunaan infrastruktur kunci publik (public key infrastructure) atau cryptography untuk menandatangani suatu pesan. Dalam legislasi Malaysia, digital signature diartikan sebagai suatu transformasi pesan dengan menggunakan cryptosystem assimetric sehingga orang yang memiliki pesan awal dan menandatangani kunci publik dapat secara akurat ditetapkan.
Menurut M. Yahya Harahap, SH., (2007 : 563), jika merujuk pada ketentuan Pasal 1874 KUH Perdata, maka tanda tangan digital (digital signature), tidak dikenal. Oleh karena itu belum diakui keabsahannya, namun menurut beliau dengan melihat perkembangan E-Commerce, sudah saatnya untuk diterima keabsahannya. Sedangkan menurut Sri Wrdah, SH., SU dan Bambang Sutiyoso, SH, M.Hum, apabila hakim ragu untuk mengambil keputusan sehubungan dengan belum adanya UU khusus Cyber Law yang mengatur tentang alat bukti akta elektronik, sudah selayaknya apabila hal itu dapat diatasi oleh hakim dengan melakukan penemuan hukum atau melakukan penafsiran secara analogis atau ekstensif dari ketentuan hakum yang berlaku (existing laws). Dengan demikian, permasalahan hukum yang timbul tetap dapat diambil keputusan yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan, tanpa harus menunggu lahirnya UU bidang Cyber Law.
Pada dasarnya akta elektronik mempunyai kedudukan yang sama sebagai alat bukti sebagaimana akta yang lazim kita kenal selama ini. Penafsiran terhadap ketentuan hukum yang ada mendukung kekuatan pembuktian akta elektronik. Oleh karena itu, ke depan perlu dipikirkan bentuk pengaturan yang ideal bagi penggunaan akta elektronik dalam transaksi e-commerce sehingga menjadi alat bukti yang sah dalam perkara perdata.
DAFTAR BACAAN :
1. Prof. DR. Abdul Manan, SH., S.IP, M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Pencana Prenada Media, Jakarta, 2006.
2. Abdul Kadir Muhammad, SH., Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
3. DR. A. Mukti Arto, SH., MH., Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
4. DR. Ahmad Mujahidin, MH., Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, IKAHI, Jakarta, 2008.
5. Krisna Harahap, SH., Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Grafiti Budi Utami, Bandung, 1996.
6. M. Yahya Harahap, SH., Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
7. Sudikno Mertokusumo, Beberapa Asas Pembuktian Perdata dalam Praktik, Liberty, Yogyakarta, 1980.
8. M. Ramli, Perlindungan Hukum tTrhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce, Jurnal Bisnis Vol. 18, Maret 2002.
9. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesiam Liberty, Yogyakarta, 1998.
10. Pilto, Pembuktian dan Daluwarsa (terjemahan), Intermasa, Jakarta 1978.
11. Sri Wardah, SH., SU. Dan Bambang Sutiyoso, SH., M.Hum, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indoensia, Gama Media, Yogyakarta, 2007.
12. Sutan Sjahdeini, Sistem Pengamanan E.Commerce, Jurnal Bisnis Vol. 18, Maret 2002.

1 komentar: