selamat datang di website resmi fakultas hukum universitas darussalam ambon kelas c masohi

selamat datang di website resmi fakultas hukum universitas darussalam ambon kampus c masohi

Rabu, 27 Februari 2013

PEMBAHARUAN HUKUM WARIS ISLAM OLEH HAKIM DI INDONESIA

PEMBAHARUAN HUKUM WARIS ISLAM
OLEH HAKIM DI INDONESIA
Oleh : Moh. Muhibuddin, S.Ag.,SH.,M.S.I *)
A.  Pendahuluan
Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia  yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang. [1]
Sejak sejarah awalnya (origin) hingga pembentukan dan pembaharuannya (change and development) di masa kontemporer hukum waris Islam menunjukkan dinamika dan perkembangannya yang penting untuk dikaji dan diteliti oleh para pemerhati hukum Islam. Bukan suatu hal yang kebetulan jika ternyata telah banyak pemerhati yang menulis dan mengkaji perkembangan hukum waris Islam dari berbagai aspeknya.
Kontak Islam dengan berbagai agama yang ada pada masa awal Islam hingga zaman kontemporer juga telah ikut mewarnai hubungan Islam dan non-Islam (baca: muslim dan non muslim). Bahkan juga mewarnai hukum Islam dalam relasinya dengan non muslim, termasuk di dalamnya hukum waris Islam.

Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di satu sisi nas| al-Qur’an tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris untuk non muslim[2], sedangkan  hadits tidak memberikan sedikitpun bagian harta bagi ahli waris non muslim[3] namun di sisi lain tuntutan keadaan dan kondisi menghendaki  hal yang sebaliknya. Dialektika antara hukum dan tuntutan perkembangan zaman tersebut jelas menjadi problem besar bagi hukum kewarisan Islam.
Problematika kewarisan beda agama mencuat ketika relasi muslim dan non muslim kembali didiskusikan dan diwacanakan oleh berbagai kalangan.[4] Bahkan hal tersebut telah menjadi perhatian para pemikir Islam sejak awal pembentukannya hingga zaman kontemporer.[5] Hanya saja tuntutan zaman kontemporer yang didalamnya terdapat isu hubungan antar agama dan hak asasi manusia memaksa kembali untuk mendiskusikan kewarisan beda agama dalam perspektif hukum Islam.
Perubahan dan pembaharuan hukum waris Islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi dalam perumusan hukum waris Islam di Indonesia dengan konsep ahli waris pengganti telah merubah dan memperbarui hukum waris Islam di Indonesia.[6]
Sejarah juga menunjukkan bahwa pada sepanjang sejarah hukum Islam pemikiran hukum waris Islam tidaklah berhenti, walaupun ada yang beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup namun sesungguhnya pemikiran hukum Islam tetap dilakukan setidaknya oleh dua golongan penegak syariat Islam yaitu qa>di>/hakim dan mufti. Hakim melakukan pemikiran hukum Islam dengan jalan melaksanakan hukum melalui putusan pengadilan, sedangkan mufti melalui fatwa-fatwa hukum.[7]
Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam penerapan hukum. Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara aktual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat pencari keadilan dengan tetap mempertimbangan aspek keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya.[8] Melalui putusan-putusannya seorang hakim tidak hannya menerapkan hukum yang ada dalam teks undang-undang (hakim sebagai corong undang-undang) tetapi sesugguhnya ia juga melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang  diajukan kepadanya dan belum diatur dalam undang-undang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada (hakim menciptakan hukum baru/jadge made law).[9]
Hakim di lingkungan peradilan agama di Indonesia sebagai salah satu penegak hukum Islam ternyata juga telah melaksanakan fungsi menetapkan putusan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya dengan terlebih dahulu mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum pada putusannya tersebut.[10] Dan melalui putusan tersebut tidak dapat disangkal bahwa ia telah turut berperan dalam pemikiran hukum Islam terlebih lagi ketika putusannya tersebut mengandung pembaharuan terhadap pemikiran hukum Islam.[11]
Dalam konteks tersebut adalah menarik untuk mencermati putusan yang diambil oleh Hakim di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memberikan bagian harta bagi ahli waris non muslim dan memberikan status ahli waris dari pewaris muslim bagi ahli waris non muslim. Dalam putusannya tersebut seorang ahli waris non muslim mendapatkan harta bagian dari pewaris muslim sebanyak harta yang diterima oleh ahli waris muslim dalam posisi yang sama.[12]
Dalam pandangan konsep fiqh konvensional[13] seorang muslim tidak bisa mewarisi harta seorang non muslim  dan sebaliknya seorang non muslim tidak dapat mewarisi harta seorang muslim.[14] Pandangan ini merupakan pandangan mainstream di kalangan ummat Islam seakan-akan tidak ada jalan bagi seorang non muslim untuk mendapatkan harta waris dari seorang muslim dan demikian sebaliknya.
Adanya perbedaan antara putusan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang bagian harta bagi ahli waris non muslim dan status ahli waris non muslim dengan fiqh di atas, jelas menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana dan mengapa putusan tersebut lahir, bukankah putusan tersebut tidak sejalan dengan fiqh dan bahkan tidak sejalan dengan kompilasi hukum Islam[15] yang juga tidak memberikan bagian harta sedikitpun bagi ahli waris non muslim dan tidak memberikan status ahli waris dari pewaris muslim bagi ahli waris non muslim.[16]
B. Ahli Waris Non Muslim dalam Perundang-Undangan di Indonesia
Dalam konteks ahli waris non muslim dalam tulisan ini perundang-undangan di Indonesia yang dimaksud adalah perundang-undangan yang mengatur tentang status ahli waris non muslim. Perundang-undangan tersebut adalah peraturan-peraturan yang mengatur peralihan hak dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang berhak menerimanya (ahli waris) yang ada kaitannya dengan kewarisan Islam.
Hukum kewarisan Islam sebenarnya telah ada dalam kitab-kitab yang membahas tentang kewarisan atau ilmu waris/ilmu faraid, namun yang menjadi obyek dalam tulisan ini adalah hukum waris yang telah terlembagakan dalam peraturan di Indonesia atau minimalkan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dalam sengketa waris di peradilan Agama di Indonesia.
Dari penelusuran yang dilakukan penulis sepanjang sejarah peradilan di Indonesia hukum kewarisan Islam baru terlembagakan dalam aturan tertulis setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang menginstruksikan tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan baik oleh Instansi pemerintah maupun masyarakat. 
Sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI), Biro  Peradilan Agama melalui surat edarannya No. B./1/735 tanggal 18 Pebruari 1958 menganjurkan kepada para Hakim Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk mempergunakan  13 kitab[17] sebagai pedoman bagi para hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum Islam.[18] Namun pada kenyataannya, keputusan yang dihasilkan tetap saja beragam, karena tidak adanya rujukan yang pasti untuk dijadikan pedoman.[19] Oleh karena itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman yang seragam (unifikatif) bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.[20] Karena secara substansi kompilasi tersebut sepanjang sejarahnya telah menjadi hukum positif yang berlaku dan diakui keberadaannya. Dalam kenyataannya Kompilasi Hukum Islam telah dipakai oleh para Hakim di Peradilan Agama dalam memutuskan perkara yang diajukan masyarakat pencari keadilan kepadanya.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat tiga buku yaitu buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan (Pasal 215-229).
Buku II tentang Hukum Kewarisan terdiri dari Bab I : Ketentuan Umum (pasal 171); Bab II: Ahli Waris (pasal 172-175); Bab III: Besarnya Bahagian (pasal 176-191); Bab IV: Aul dan Rad (pasal 192-193); Bab V: Wasiat (pasal 194-209); dan Bab VI: Hibah (pasal 210-214).
Dalam pasal 171 huruf c dijelaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris. Pasal ini menjelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris sehingga berimplikasi bahwa jika tidak beragama Islam maka tidak dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Adapun untuk mengidentifikasikan seorang ahli waris beragama Islam pasal 172 KHI menjelaskan bahwa ahli waris dipandang beragama Islam  diketahui dari kartu identitasnya atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan untuk bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, agamanya menurut ayahnya atau lingkungannya.
Adapun identitas pewaris dijelaskan pada pasal 171 huruf b yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dalam Hukum Kewarisan Islam dalam perundang-undangan di Indonesia seorang ahli waris yang bisa mewarisi pewaris keduanya haruslah beragama Islam. Implikasinya adalah ahli waris non muslim bukan ahli waris dari pewaris muslim.
C. Ahli Waris Non Muslim dalam Putusan Mahkamah Agung RI
Sejauh ini ada dua putusan Mahkamah Agung tentang Status ahli waris non muslim yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor: 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan ini ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris, dan dalam putusan nomor  51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris.
Dari dua putusan di atas dapat ditarik satu gambaran bahwa melalui Yurisprudensinya Mahkamah Agung telah melakukan pembaharuan hukum waris Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menuju pemberian harta bagi ahli waris non muslim dan dari   tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim menuju pengakuan bahwa ahli waris non muslim juga dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status ahli waris bagi bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang setara dengan ahli waris muslim.
Satu hal menarik yang perlu dicermati di sini adalah bahwa dalam pertimbangan hukumnya baik dalam perkara nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 maupun nomor  51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 keduanya didasarkan pada wasiat wajibah. Dengan mencermati kasus tersebut dapat memunculkan pertanyaan kenapa dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris melainkan hanya diberikan harta berdasarkan wasiat wajibah sementara dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 disamping mendapatkan harta berdasarkan wasiat wajibah ahli waris non muslim juga dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim.
Dengan munculnya dua putusan tersebut jelas Mahkamah Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim.
Dalam konteks ini perlu disinggung bahwa Hakim memiliki kewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang dianggap telah usang dan ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu menciptakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam Ilmu Hukum cara ini disebut dengan istilah Contra legem. Dalam menggunakan Contra legem ini Hakim harus mencukupkan pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek hukum. Putusan hukum oleh hakim yang kemudian dijadikan sebagai dasar bagi putusan yang memiliki kasus serupa disebut sebagai hukum yurisprudensi tujuannya adalah untuk menghindari adanya disparitas putusan hakim dalam perkara yang sama.[21]
Dalam dua kasus di atas yang dijadikan dasar pembaharuan Hukum Kewarisan Islam adalah wasiat wajibah yang menurut sebagian pemikir Islam ahli waris non muslim dapat mendapat bagian harta warisan melalui jalan wasiat wajibah. Pendapat tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm, At-Tabari dan Muh}ammad Rasyi>d Rid}a>.[22] Namun tidak ada pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris bagi pewaris muslim. Di sinilah letak kelemahan dari putusan tersebut yang tidak menjelaskan tentang pertimbangan hukum bagi status ahli waris non muslim.
D. Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pembaharuan hukum waris Islam yang dilakukan oleh hakim di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak hannya dalam konteks perundang-undangan di Indonesia tapi juga dalam sistem kewarisan Islam yang berlaku di dunia Islam pada umumnya yaitu dengan diberikannya harta warisan bagi ahli waris non muslim melalui konsep wasiat wajibah dan status ahli waris dari pewaris muslim bagi ahli waris non muslim. Wallahu a'lam bis showab.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J. N. D., Hukum Islam Di Dunia Modern, terj. Machnun Husein, Surabaya: Amarpress, 1991.
Anwar, Syamsul, “Pengembangan Ilmu Syari’ah Dan Model-Model Penelitiannya” makalah disampaikan dalam Seminar Pengembangan Ilmu Syari’ah dan Metodologi Penelitiannya Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 22 Nopember 2000.
Anonim, Yurisprudensi (Peradilan Agama dan Analisa), Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1995.
Anonim, Profil Peradilan Agama, Jakarta, Dirjen Badilag MARI, 2008.
al-'Asqala>ni, Ahmad ibn 'A>li> Ibn Hajar >, Fath al-Ba>ri>, t.t.p: al-Maktabah as-Salafiyah, t.t.
al-Barrah, 'Abdul 'Azi>z, al-Muhaz<<zab, Beirut: Da>r al-Isla>miyyah, t.t
Barbour, Ian G., Isu Dalam Sains Dan Agama, terj. Damayanti dan Ridwan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Bin Mu'allim, Amir, Yurisprudensi Peradilan Agama (Studi Pemikiran Hukum Islam di Lingkungan Pengadilan Agama Se-Jawa Tengah dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 1991-1997), Jakarta: Badan Litbang & Diklat Depag RI, 2006.
Budiono, Eko, “Wasiat Wajibah Menurut Berbagai Referensi Hukum Islam Dan Aplikasinya Di Indonesia ” dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum No. 63 Thn. XV 2004 Maret-April, Jakarta: Al Hikmah dan DITBINPERA, 2004.
al-Bukha>ri>,  Abu> Abdilla>h Muhammad ibn Isma>'il, S}ahi>h al-Bukha>ri> , Beirut: Da>r al Fikr, t.t
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999.
Chadwick, Bruce A., dkk., Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, Semarang : IKIP Press, 1991.
Cholil, Moenawwar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990.
Departemen Agama RI., al-Qur'an dan Tafsirnya, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, tt.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia , t.tp.,: Depag RI, 1998/1999.
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2008.
Feillard, Andree, NU Vis-a-Vis Negara Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa  Lesmana, Yogyakarta: LKIS, 1999.
Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Pakistan: Islamic Research Institute Pakistan, 1970.
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad al-Ima>m Ahmad ibn Hanbal, Beirut : Da>r Ihya>' al-Tura>s al-Arabi>, 1993.
Ibn Hazm, al-Muh}alla> , Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Ibin, Dede, “Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim” dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum No. 63 Thn. XV 2004 Maret-April, Jakarta: Al Hikmah dan DITBINPERA, 2004.
Kamil, Ahmad  dan Fauzan, M., Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi,   Jakarta: Kencana, 2005.
Krames, J., "Droit de I'Islam et Droit Islamique", vol. II, Leiden: Brill, 1956.
Madku>r, Muh}ammad Sala>m, al-Qada>' fi> al-Isla>m, Beirut: Da>r al-Fikr, 1968.
Madjid, Nurcholis, dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat     Inklusif-Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2004.
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur'an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, Yogyakarta: Pustaka SM, 2000.
Manan, Bagir, “Hakim sebagai Pembaharu Hukum” dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 254 Januari 2007., Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2007
Manan, Abdul , Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, 2006
Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008.
Reformasi Hukum Islam Di Indonesia Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
al-Maragi, Ahmad Must}afa> >, Tafsi>r al-Maragi> , Mesir: Must}afa> al-Ba>bi al-Halabi>, 1974.
Mastuhu dan Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Jakarta: Pusjarlit dan Nuansa, 1998.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2000.
Mudzhar, M. Atho’, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta : INIS, 1993.
Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000.
Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999.
Muhibuddin, Moh., Penyelesaian Perkara Ahli Waris Yang Hilang Studi Atas Penetapan Pengadilan Agama Bantul Tahun 1999-2001 , Skripsi Fakultas Hukum UCY Yogyakarta, 2003.
Perkawinan Dengan Musyrikah Dalam Tafsi>r Al-Mana>r dan Implikasinya Terhadap Penafsiran Hukum Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006
Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1977.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT AlMa’arif, t.tp.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia , Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Rancangan Undang-Undang RI tahun 2002 tentang Hukum Terapan Peradilan Agama
Rancangan Undang-Undang RI tahun 2002 tentang Perwakafan
Rid}a>, Muh}ammad Rasyi>d, Tafsi>r al-Mana>r , Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Riyanta dkk. (ed.), Neo Ushul Fiqh: Menuju Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press, 2004.
Redaksi Pustaka Tinta Mas, UU RI Nomor 7 Tahun 1989, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1997.
Sirry, Mun’im A. (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2004.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986.
dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: CV. Utomo, 2009.
Syamsuhadi dkk, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Putusan Badan Peradilan Agama Dalam Perkara Kewarisan, Jakarta: Depag RI, 1999/2000.
At-Tabari, Tafsi>r Ja>miul Baya>n , T.tp: Iqa>mu ad-Di>n, 1988.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Widiana, Wahyu, dkk,  Analisa Putusan Badan Peradilan Agama, Jakarta: Depag RI, 2002.
Yin, Robert K., Studi Kasus Desain dan Metode, terj. M. Djauzi Mudzakir, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Kencana, 2004.


*) Hakim pada Pengadilan Agama Natuna, saat ini sedang menyusun  Disertasi dengan tema Pembaharuan Hukum Waris Islam di Indonesia, Program Doktor Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[1] J. N. D. Anderson, Hukum Islam Di Dunia Modern, terj. Machnun Husein (Surabaya: Amarpress, 1991), hlm. 66
[2] Ayat yang sering dijadikan sebagai dasar terhalangnya non muslim mewarisi pewaris muslim adalah Q. S. al-Nisa>' (4): 141: ولن يجعل الله للكفر ين على المؤ منين سبيلا. Ayat ini sebenarnya merupakan ayat yang bersifat umum dan tidak menunjuk langsung pada larangan bagi non-muslim untuk menerima harta warisan dari keluarganya yang muslim. Bahkan surat al-Nisa>' ayat 141 ini juga sering dijadikan dalil untuk melarang perkawinan beda agama, antara laki-laki non-muslim dengan perempuan muslimah. Apabila dipahami secara utuh, ayat  tersebut adalah lebih merujuk kepada orang-orang munafik, dalam hal terjadinya peperangan, yang senantiasa menunggu-nunggu peluang yang baik dan hanya menguntungkan bagi diri mereka. Lihat M. Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1973), V. hlm. 466; Departemen Agama RI., al-Qur'an dan Tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, t.t.), IV. hlm. 326; Ahmad Must}afa> al-Maragi>, Tafsi>r al-Maragi> (Mesir: Must}afa> al-Ba>bi al-Halabi>, 1974), V. hlm. 185; Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur'an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), hlm. 209.
[3] Hadis yang digunakan sebagai dasar adalah hadis yang menyebutkan bahwa seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi harta seorang muslim. (لايرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم) . Lihat dalam Abu> Abdilla>h Muhammad ibn Isma'i>l al-Bukhari>, S}ahi>h al-Bukhari> (Beirut: Da>r al Fikr, t.t), VIII, hlm. 11; Ahmad ibn 'A>li> Ibn Hajar al-'Asqala>ni>, Fath al-Ba>ri> (t.t.p: al-Maktabah al-Salafiyah, t.t.), XII, hlm. 51, 85; Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Ima>m Ahmad ibn Hanbal (Beirut : Da>r Ihya>' al-Tura>s al-Arabi>, 1993), VI, hlm. 202.
[4] Lihat misalnya Mun’im A.Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2004).
[5] Abdul Azi>z al-Barrah, al-Muhaz<<zab (Beirut: Da>r al-Isla>miyyah, t.t.), hlm. 202.
[6] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 116
[7] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta : INIS, 1993), hlm. 1-2
[8] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), hlm. 278-285. Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung: CV. Utomo, 2009), hlm. 164-166
[9] Bagir Manan, “Hakim sebagai Pembaharu Hukum” dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 254 Januari 2007., Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2007, hlm. 9-13
[10] Pertimbangan hukum merupakan ruang pemikiran atau ijtihad hakim yang merupakan jiwa putusan berisi analisis, argumentasi, pendapat dan kesimpulan hukum hakim sebelum menjatuhkan putusan. Abdul Manan, Penerapan Hukum…, hlm. 295
[11] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 311-327
[12] Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor: 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
[13] Konsep fiqh konvensional dalam tulisan ini diambil dari pandangan yang terdapat dalam kitab-kitab fikih terutama yang banyak beredar di Indonesia,  terutama kitab fikih mazhab Syafi’i seperti al-Muhazzab karangan as-Syirazi, Fath al-Mu’in karangan al-Malibari. Kitab Fiqh mazhab Syafi’i perlu dicermati karena fiqh mazhab Syafi’i diikuti oleh mayoritas ummat Islam Indonesia dan oleh karenanya banyak mempengaruhi hukum Islam di Indonesia. Kitab-kitab Fiqah Mazhab Syafi’i yang banyak beredar di Indonesia pada pokoknya bersumber pada empat buah kitab yaitu al-Muharrar karya Imam Rafi’i (w. 1226 M0, Taqrib karya Abu Syuja’ (w. 1215 M), Qurrah al-‘Ain karya Zainuddin al-Malibari (lahir 1597 M), kitab ini mendapat syarah dari beliau sendiri dengan kitabnya yang berjdudul Fathu al-Mu’in dan kitab Muqaddimah al-Khadramiyyah karya Ba Fadhal (hidup abad 16 M). Untuk mengetahui fikih  empat Mazhab (Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i , dan Hanbali) dalam masalah tersebut, maka  digunakan tiga  kitab yaitu al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuh karangan Dr. Wahbah az-Zuhaili,  Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah karangan ‘Abd ar-Rahman al-Jazairi dan kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid karya Ibn Rusyd. Disamping itu diambilkan juga dari kitab-kitab dan buku-buku yang membahas pandangan Ulama Fikih  seputar masalah tersebut sesuai referensi yang terjangkau oleh penyusun. Lihat M. Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2000), hlm. 109-110., Moenawwar Cholil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, cet. 7 ( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), hlm. 11. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 117-123. Andree Feillard, NU Vis-a-Vis Negara Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa  Lesmana, cet. 1, ( Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 390.
[14] Ada pendapat yang membolehkan seorang muslim mewarisi non muslim yaitu menurut pendapat fuqaha’ Imamiyah menurut mereka larangan mewarisi karena perbedaan agama itu tidak mencakup larangan bagi orang Islam mewarisi kerabatnya yang non muslim. Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT Al Ma’arif, t.tp.), hlm. 99.
[15] Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, KHI memuat tiga buku yaitu buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan (Pasal 215-229). Lihat Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (t. tp.,: Depag RI, 1998/1999). Mengenai kekuatan hukum Kompilasi Hukum Islam masih ada perbedaan pendapat di kalangan Ahli Hukum ada yang mengatakan berkekuatan mengikat dan ada yang mengatakan tidak mengikat (fakultatif), lihat   Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 24-32. Saat ini ada pembahasan tentang  Rancangan Undang-Undang (RUU) Republik Indonesia tentang Hukum Terapan Peradilan Agama yang memuat 215 pasal yang terdiri dari ketentuan umum (pasal 1), perkawinan (pasal 2-172), kewarisan (pasal 173-215) yang menurut pengamatan penulis dalam hal perkawinan dan kewarisan RUU tersebut tidak lain adalah metamorfosis dari KHI. Sedangkan mengenai Hukum Perwakafan juga diajukan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perwakafan memuat 32 Pasal (Pasal 1-32), pada bulan September 2004 RUU Wakaf telah disyahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia menjadi Undang-undang. Lihat Rancangan Undang-Undang RI tahun 2002 tentang Hukum Terapan Peradilan Agama,  Rancangan Undang-Undang RI tahun 2002 tentang Perwakafan, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
[16] BAB I Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai  hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Lihat dalam Redaksi Pustaka Tinta Mas, UU RI Nomor 7 Tahun 1989 (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1997), hlm. 131.
[17] Tiga belas kitab yang dianjurkan untuk dipedomani tersebut adalah al-Ba>ju>ri>, Fath} al-Mu’i>n, Syarqa>wi> ‘ala> at-Tah}ri>r, Qolyu>bi>/Mah}alli>, Fath} al-Wahha>b dengan Syarahnya, Tuh}fah}, Targi>b al-Musyta>q, Qawa>ni>n Syar’iyyah li as-Sayyid ibn Yah}ya>, Qawa>ni>n Syar’iyyah li as-Sayyid S>}adaqah Dah}la>n, Syamsuri fi> al-Fara>id}, Bugyah al-Musytarsyidi>n, al-Fiqhu ‘ala> al-Maz|a>hib al-Arba’ah, Mugni> al-Muh}ta>j. Lihat dalam Depag RI, Kompilasi Hukum Islam..., hlm. 128.
[18] Depag RI, Kompilasi Hukum Islam..., hlm. 127-128. Moh. Mahfud MD, et.al. (Ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), hlm. 47.
[19] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.1.
[20] Ahmad Rafiq, Hukum Islam..., hlm. 43-44.
[21] Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 9
[22] At-Tabari, Tafsi>r Ja>miul Baya>n (T.tp: Iqa>mu ad-Di>n, 1988), II: 115. Muh}ammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Beirut: Da>r al-Fikr, tt) II:136. Ibn Hazm, al-Muh}alla> (Beirut: Da>r al-Fikr, tt) IX:314.
V

Tidak ada komentar:

Posting Komentar