PEMBAHARUAN HUKUM
WARIS ISLAM
OLEH HAKIM DI
INDONESIA
Oleh : Moh. Muhibuddin, S.Ag.,SH.,M.S.I
*)
A. Pendahuluan
Hukum waris Islam merupakan ekspresi
penting hukum keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki
manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari
hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki
manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim
sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan, zaman modern dan kontemporer
serta di masa yang akan datang. [1]
Sejak sejarah awalnya (origin)
hingga pembentukan dan pembaharuannya (change and development) di masa
kontemporer hukum waris Islam menunjukkan dinamika dan perkembangannya yang
penting untuk dikaji dan diteliti oleh para pemerhati hukum Islam. Bukan suatu
hal yang kebetulan jika ternyata telah banyak pemerhati yang menulis dan
mengkaji perkembangan hukum waris Islam dari berbagai aspeknya.
Kontak Islam dengan berbagai agama yang
ada pada masa awal Islam hingga zaman kontemporer juga telah ikut mewarnai
hubungan Islam dan non-Islam (baca: muslim dan non muslim). Bahkan juga
mewarnai hukum Islam dalam relasinya dengan non muslim, termasuk di dalamnya
hukum waris Islam.
Kewarisan beda agama merupakan salah
satu dari persoalan kontemporer dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di
satu sisi nas| al-Qur’an tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris
untuk non muslim[2], sedangkan hadits tidak
memberikan sedikitpun bagian harta bagi ahli waris non muslim[3] namun di sisi lain tuntutan keadaan dan
kondisi menghendaki hal yang sebaliknya. Dialektika antara hukum dan tuntutan
perkembangan zaman tersebut jelas menjadi problem besar bagi hukum kewarisan
Islam.
Problematika kewarisan beda agama
mencuat ketika relasi muslim dan non muslim kembali didiskusikan dan
diwacanakan oleh berbagai kalangan.[4] Bahkan hal tersebut telah menjadi
perhatian para pemikir Islam sejak awal pembentukannya hingga zaman
kontemporer.[5] Hanya saja tuntutan zaman kontemporer
yang didalamnya terdapat isu hubungan antar agama dan hak asasi manusia memaksa
kembali untuk mendiskusikan kewarisan beda agama dalam perspektif hukum Islam.
Perubahan dan pembaharuan hukum waris
Islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum Islam, untuk
menyebut contoh apa yang terjadi dalam perumusan hukum waris Islam di Indonesia
dengan konsep ahli waris pengganti telah merubah dan memperbarui hukum waris
Islam di Indonesia.[6]
Sejarah juga menunjukkan bahwa pada
sepanjang sejarah hukum Islam pemikiran hukum waris Islam tidaklah berhenti,
walaupun ada yang beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup namun
sesungguhnya pemikiran hukum Islam tetap dilakukan setidaknya oleh dua golongan
penegak syariat Islam yaitu qa>di>/hakim dan mufti. Hakim melakukan
pemikiran hukum Islam dengan jalan melaksanakan hukum melalui putusan
pengadilan, sedangkan mufti melalui fatwa-fatwa hukum.[7]
Hakim sebagai penegak hukum mempunyai
posisi sentral dalam penerapan hukum. Hakim tidak hanya dituntut agar dapat
berlaku adil tetapi ia juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara aktual
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat pencari keadilan dengan tetap mempertimbangan aspek
keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya.[8] Melalui putusan-putusannya seorang
hakim tidak hannya menerapkan hukum yang ada dalam teks undang-undang (hakim
sebagai corong undang-undang) tetapi sesugguhnya ia juga melakukan
pembaharuan-pembaharuan hukum ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang
diajukan kepadanya dan belum diatur dalam undang-undang ataupun telah ada
aturan tetapi dipandang tidak relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada
(hakim menciptakan hukum baru/jadge made law).[9]
Hakim di lingkungan peradilan agama di
Indonesia sebagai salah satu penegak hukum Islam ternyata juga telah
melaksanakan fungsi menetapkan putusan terhadap perkara-perkara yang diajukan
kepadanya dengan terlebih dahulu mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum
pada putusannya tersebut.[10] Dan melalui putusan tersebut tidak
dapat disangkal bahwa ia telah turut berperan dalam pemikiran hukum Islam
terlebih lagi ketika putusannya tersebut mengandung pembaharuan terhadap
pemikiran hukum Islam.[11]
Dalam konteks tersebut adalah menarik
untuk mencermati putusan yang diambil oleh Hakim di lingkungan Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang memberikan bagian harta bagi ahli waris non muslim dan
memberikan status ahli waris dari pewaris muslim bagi ahli waris non muslim.
Dalam putusannya tersebut seorang ahli waris non muslim mendapatkan harta
bagian dari pewaris muslim sebanyak harta yang diterima oleh ahli waris muslim
dalam posisi yang sama.[12]
Dalam pandangan konsep fiqh
konvensional[13] seorang muslim tidak bisa mewarisi
harta seorang non muslim dan sebaliknya seorang non muslim tidak dapat
mewarisi harta seorang muslim.[14] Pandangan ini merupakan pandangan mainstream
di kalangan ummat Islam seakan-akan tidak ada jalan bagi seorang non muslim
untuk mendapatkan harta waris dari seorang muslim dan demikian sebaliknya.
Adanya perbedaan antara putusan Hakim
Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang bagian harta bagi ahli waris non
muslim dan status ahli waris non muslim dengan fiqh di atas, jelas menimbulkan
pertanyaan mendasar tentang bagaimana dan mengapa putusan tersebut lahir,
bukankah putusan tersebut tidak sejalan dengan fiqh dan bahkan tidak sejalan
dengan kompilasi hukum Islam[15] yang juga tidak memberikan bagian
harta sedikitpun bagi ahli waris non muslim dan tidak memberikan status ahli
waris dari pewaris muslim bagi ahli waris non muslim.[16]
B. Ahli Waris Non Muslim dalam
Perundang-Undangan di Indonesia
Dalam konteks ahli waris non
muslim dalam tulisan ini perundang-undangan di Indonesia yang dimaksud adalah
perundang-undangan yang mengatur tentang status ahli waris non muslim.
Perundang-undangan tersebut adalah peraturan-peraturan yang mengatur peralihan
hak dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang berhak
menerimanya (ahli waris) yang ada kaitannya dengan kewarisan Islam.
Hukum kewarisan Islam sebenarnya telah
ada dalam kitab-kitab yang membahas tentang kewarisan atau ilmu waris/ilmu
faraid, namun yang menjadi obyek dalam tulisan ini adalah hukum waris yang
telah terlembagakan dalam peraturan di Indonesia atau minimalkan dijadikan
dasar dalam pengambilan keputusan dalam sengketa waris di peradilan Agama di
Indonesia.
Dari penelusuran yang dilakukan penulis
sepanjang sejarah peradilan di Indonesia hukum kewarisan Islam baru
terlembagakan dalam aturan tertulis setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang menginstruksikan tentang
penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman
dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan baik oleh Instansi pemerintah maupun masyarakat.
Sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam
(KHI), Biro Peradilan Agama melalui surat edarannya No. B./1/735 tanggal
18 Pebruari 1958 menganjurkan kepada para Hakim Pengadilan Agama atau Mahkamah
Syar’iyah untuk mempergunakan 13 kitab[17] sebagai pedoman bagi para hakim
Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Hal ini dimaksudkan
untuk memperoleh kepastian hukum Islam.[18] Namun pada kenyataannya, keputusan
yang dihasilkan tetap saja beragam, karena tidak adanya rujukan yang pasti
untuk dijadikan pedoman.[19] Oleh karena itu, Kompilasi Hukum Islam
(KHI) diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman yang seragam (unifikatif) bagi
Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh
seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.[20] Karena secara substansi kompilasi
tersebut sepanjang sejarahnya telah menjadi hukum positif yang berlaku dan
diakui keberadaannya. Dalam kenyataannya Kompilasi Hukum Islam telah dipakai
oleh para Hakim di Peradilan Agama dalam memutuskan perkara yang diajukan
masyarakat pencari keadilan kepadanya.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat tiga
buku yaitu buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan
(Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan (Pasal 215-229).
Buku II tentang Hukum Kewarisan terdiri
dari Bab I : Ketentuan Umum (pasal 171); Bab II: Ahli Waris (pasal 172-175);
Bab III: Besarnya Bahagian (pasal 176-191); Bab IV: Aul dan Rad (pasal
192-193); Bab V: Wasiat (pasal 194-209); dan Bab VI: Hibah (pasal 210-214).
Dalam pasal 171 huruf c dijelaskan
bahwa ahli waris beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris. Pasal ini
menjelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam pada saat meninggalnya
pewaris sehingga berimplikasi bahwa jika tidak beragama Islam maka tidak
dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Adapun untuk
mengidentifikasikan seorang ahli waris beragama Islam pasal 172 KHI menjelaskan
bahwa ahli waris dipandang beragama Islam diketahui dari kartu
identitasnya atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan untuk bayi
yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, agamanya menurut ayahnya atau
lingkungannya.
Adapun identitas pewaris dijelaskan
pada pasal 171 huruf b yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa dalam Hukum Kewarisan Islam dalam
perundang-undangan di Indonesia seorang ahli waris yang bisa mewarisi pewaris
keduanya haruslah beragama Islam. Implikasinya adalah ahli waris non muslim
bukan ahli waris dari pewaris muslim.
C. Ahli Waris Non Muslim dalam Putusan
Mahkamah Agung RI
Sejauh ini ada dua putusan Mahkamah
Agung tentang Status ahli waris non muslim yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor:
368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal 29 September
1999.
Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995
dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan bagian dari Harta
Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris
muslim, dalam putusan ini ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli
waris, dan dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa ahli waris
non muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim dan mendapatkan
bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam
putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris.
Dari dua putusan di atas dapat ditarik
satu gambaran bahwa melalui Yurisprudensinya Mahkamah Agung telah melakukan
pembaharuan hukum waris Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non
muslim menuju pemberian harta bagi ahli waris non muslim dan dari
tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim
menuju pengakuan bahwa ahli waris non muslim juga dianggap sebagai ahli waris
dari pewaris muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status
ahli waris bagi bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang
setara dengan ahli waris muslim.
Satu hal menarik yang perlu dicermati
di sini adalah bahwa dalam pertimbangan hukumnya baik dalam perkara nomor 368
K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 maupun nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29
September 1999 keduanya didasarkan pada wasiat wajibah. Dengan mencermati kasus
tersebut dapat memunculkan pertanyaan kenapa dalam putusan nomor 368 K/AG/1995
ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris melainkan hanya
diberikan harta berdasarkan wasiat wajibah sementara dalam putusan nomor 51
K/AG/1999 disamping mendapatkan harta berdasarkan wasiat wajibah ahli waris non
muslim juga dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim.
Dengan munculnya dua putusan tersebut
jelas Mahkamah Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam
yang tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli
waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim.
Dalam konteks ini perlu disinggung
bahwa Hakim memiliki kewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum
tertulis yang telah ada yang dianggap telah usang dan ketinggalan zaman
sehingga tidak lagi mampu menciptakan keadilan di tengah-tengah kehidupan
masyarakat. Dalam Ilmu Hukum cara ini disebut dengan istilah Contra legem.
Dalam menggunakan Contra legem ini Hakim harus mencukupkan pertimbangan
hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek hukum.
Putusan hukum oleh hakim yang kemudian dijadikan sebagai dasar bagi putusan
yang memiliki kasus serupa disebut sebagai hukum yurisprudensi tujuannya adalah
untuk menghindari adanya disparitas putusan hakim dalam perkara yang sama.[21]
Dalam dua kasus di atas yang dijadikan
dasar pembaharuan Hukum Kewarisan Islam adalah wasiat wajibah yang menurut
sebagian pemikir Islam ahli waris non muslim dapat mendapat bagian harta
warisan melalui jalan wasiat wajibah. Pendapat tersebut seperti yang
dikemukakan oleh Ibnu Hazm, At-Tabari dan Muh}ammad Rasyi>d Rid}a>.[22] Namun tidak ada pertimbangan hukum
yang menyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris bagi
pewaris muslim. Di sinilah letak kelemahan dari putusan tersebut yang tidak
menjelaskan tentang pertimbangan hukum bagi status ahli waris non muslim.
D. Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan
bahwa telah terjadi pembaharuan hukum waris Islam yang dilakukan oleh hakim di
lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak hannya dalam konteks
perundang-undangan di Indonesia tapi juga dalam sistem kewarisan Islam yang
berlaku di dunia Islam pada umumnya yaitu dengan diberikannya harta warisan
bagi ahli waris non muslim melalui konsep wasiat wajibah dan status ahli waris
dari pewaris muslim bagi ahli waris non muslim. Wallahu a'lam bis showab.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J. N. D., Hukum Islam Di
Dunia Modern, terj. Machnun Husein, Surabaya: Amarpress, 1991.
Anwar, Syamsul, “Pengembangan Ilmu
Syari’ah Dan Model-Model Penelitiannya” makalah disampaikan dalam Seminar
Pengembangan Ilmu Syari’ah dan Metodologi Penelitiannya Fakultas Syari’ah IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 22 Nopember 2000.
Anonim, Yurisprudensi (Peradilan
Agama dan Analisa), Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1995.
Anonim, Profil Peradilan Agama,
Jakarta, Dirjen Badilag MARI, 2008.
al-'Asqala>ni, Ahmad ibn
'A>li> Ibn Hajar >, Fath al-Ba>ri>, t.t.p: al-Maktabah
as-Salafiyah, t.t.
al-Barrah, 'Abdul 'Azi>z, al-Muhaz<<zab,
Beirut: Da>r al-Isla>miyyah, t.t
Barbour, Ian G., Isu Dalam Sains Dan
Agama, terj. Damayanti dan Ridwan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Bin Mu'allim, Amir, Yurisprudensi
Peradilan Agama (Studi Pemikiran Hukum Islam di Lingkungan Pengadilan Agama
Se-Jawa Tengah dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 1991-1997), Jakarta:
Badan Litbang & Diklat Depag RI, 2006.
Budiono, Eko, “Wasiat Wajibah
Menurut Berbagai Referensi Hukum Islam Dan Aplikasinya Di Indonesia ” dalam
Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum No. 63 Thn. XV 2004 Maret-April,
Jakarta: Al Hikmah dan DITBINPERA, 2004.
al-Bukha>ri>, Abu>
Abdilla>h Muhammad ibn Isma>'il, S}ahi>h al-Bukha>ri> ,
Beirut: Da>r al Fikr, t.t
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning
Pesantren Dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999.
Chadwick, Bruce A., dkk., Metode
Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, Semarang : IKIP Press, 1991.
Cholil, Moenawwar, Biografi Empat
Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990.
Departemen Agama RI., al-Qur'an dan
Tafsirnya, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, tt.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia , t.tp.,: Depag RI,
1998/1999.
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar
Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2008.
Feillard, Andree, NU Vis-a-Vis
Negara Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa Lesmana,
Yogyakarta: LKIS, 1999.
Hasan, Ahmad, The Early Development
of Islamic Jurisprudence, Pakistan: Islamic Research Institute Pakistan,
1970.
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad
al-Ima>m Ahmad ibn Hanbal, Beirut : Da>r Ihya>' al-Tura>s
al-Arabi>, 1993.
Ibn Hazm, al-Muh}alla> ,
Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Ibin, Dede, “Wasiat Wajibah Bagi
Ahli Waris Non Muslim” dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum No. 63 Thn.
XV 2004 Maret-April, Jakarta: Al Hikmah dan DITBINPERA, 2004.
Kamil, Ahmad dan Fauzan, M., Kaidah-Kaidah
Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2005.
Krames, J., "Droit de I'Islam et
Droit Islamique", vol. II, Leiden: Brill, 1956.
Madku>r, Muh}ammad Sala>m, al-Qada>'
fi> al-Isla>m, Beirut: Da>r al-Fikr, 1968.
Madjid, Nurcholis, dkk, Fiqih Lintas
Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
Jakarta: Paramadina, 2004.
Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur'an Tentang Hubungan
Sosial Antarumat Beragama, Yogyakarta: Pustaka SM, 2000.
Manan, Bagir, “Hakim sebagai Pembaharu
Hukum” dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 254 Januari
2007., Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2007
Manan, Abdul , Aspek-Aspek Pengubah
Hukum, Jakarta: Kencana, 2006
Penerapan Hukum Acara Perdata Di
Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008.
Reformasi Hukum Islam Di Indonesia
Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007.
al-Maragi, Ahmad Must}afa> >, Tafsi>r
al-Maragi> , Mesir: Must}afa> al-Ba>bi al-Halabi>, 1974.
Mastuhu dan Deden Ridwan (ed.), Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam, Jakarta: Pusjarlit dan Nuansa, 1998.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan
Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2000.
Mudzhar, M. Atho’, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia
1975-1988, Jakarta : INIS, 1993.
Membaca Gelombang Ijtihad : Antara
Tradisi dan Liberasi,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000.
Studi Hukum Islam dengan Pendekatan
Sosiologi,
Pidato Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999.
Muhibuddin, Moh., Penyelesaian
Perkara Ahli Waris Yang Hilang Studi Atas Penetapan Pengadilan Agama Bantul
Tahun 1999-2001 , Skripsi Fakultas Hukum UCY Yogyakarta, 2003.
Perkawinan Dengan Musyrikah Dalam
Tafsi>r Al-Mana>r dan Implikasinya Terhadap Penafsiran Hukum Perkawinan
Beda Agama Di Indonesia, Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2006
Notosusanto, Organisasi dan
Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1977.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 368
K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal 29 September
1999.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris,
Bandung: PT AlMa’arif, t.tp.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di
Indonesia , Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama
Media, 2001.
Rancangan Undang-Undang RI tahun 2002
tentang Hukum Terapan Peradilan Agama
Rancangan Undang-Undang RI tahun 2002
tentang Perwakafan
Rid}a>, Muh}ammad Rasyi>d, Tafsi>r
al-Mana>r , Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Riyanta dkk. (ed.), Neo Ushul Fiqh:
Menuju Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press, 2004.
Redaksi Pustaka Tinta Mas, UU RI
Nomor 7 Tahun 1989, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1997.
Sirry, Mun’im A. (ed.), Fiqih Lintas
Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2004.
Soekanto, Soerjono, Pengantar
Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986.
dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003.
Sunggono, Bambang, Metodologi
Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Shidarta, Karakteristik Penalaran
Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: CV. Utomo, 2009.
Syamsuhadi dkk, Tinjauan Fiqh Islam
Terhadap Putusan Badan Peradilan Agama Dalam Perkara Kewarisan, Jakarta:
Depag RI, 1999/2000.
At-Tabari, Tafsi>r Ja>miul
Baya>n , T.tp: Iqa>mu ad-Di>n, 1988.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Widiana, Wahyu, dkk, Analisa
Putusan Badan Peradilan Agama, Jakarta: Depag RI, 2002.
Yin, Robert K., Studi Kasus Desain
dan Metode, terj. M. Djauzi Mudzakir, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2009.
Zein, Satria Effendi M., Problematika
Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan
Ushuliyah, Jakarta: Kencana, 2004.
*) Hakim pada Pengadilan Agama Natuna,
saat ini sedang menyusun Disertasi dengan tema Pembaharuan Hukum Waris
Islam di Indonesia, Program Doktor Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
[1] J. N. D. Anderson, Hukum Islam
Di Dunia Modern, terj. Machnun Husein (Surabaya: Amarpress, 1991), hlm. 66
[2] Ayat yang sering dijadikan sebagai
dasar terhalangnya non muslim mewarisi pewaris muslim adalah Q. S. al-Nisa>'
(4): 141: ولن يجعل الله
للكفر ين على
المؤ منين سبيلا.
Ayat ini sebenarnya merupakan ayat yang bersifat umum dan tidak menunjuk
langsung pada larangan bagi non-muslim untuk menerima harta warisan dari
keluarganya yang muslim. Bahkan surat al-Nisa>' ayat 141 ini juga sering
dijadikan dalil untuk melarang perkawinan beda agama, antara laki-laki non-muslim
dengan perempuan muslimah. Apabila dipahami secara utuh, ayat tersebut
adalah lebih merujuk kepada orang-orang munafik, dalam hal terjadinya
peperangan, yang senantiasa menunggu-nunggu peluang yang baik dan hanya
menguntungkan bagi diri mereka. Lihat M. Rasyi>d Rid{a, Tafsi>r
al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1973), V. hlm. 466; Departemen
Agama RI., al-Qur'an dan Tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
t.t.), IV. hlm. 326; Ahmad Must}afa> al-Maragi>, Tafsi>r
al-Maragi> (Mesir: Must}afa> al-Ba>bi al-Halabi>, 1974), V.
hlm. 185; Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir
Tematik al-Qur'an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (Yogyakarta:
Pustaka SM, 2000), hlm. 209.
[3] Hadis yang digunakan sebagai dasar
adalah hadis yang menyebutkan bahwa seorang muslim tidak dapat mewarisi harta
orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi harta seorang muslim. (لايرث
المسلم الكافر ولا
الكافر المسلم) . Lihat dalam Abu>
Abdilla>h Muhammad ibn Isma'i>l al-Bukhari>, S}ahi>h
al-Bukhari>
(Beirut: Da>r al Fikr, t.t), VIII, hlm. 11; Ahmad ibn 'A>li> Ibn Hajar
al-'Asqala>ni>, Fath al-Ba>ri> (t.t.p: al-Maktabah
al-Salafiyah, t.t.), XII, hlm. 51, 85; Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Ima>m
Ahmad ibn Hanbal (Beirut : Da>r Ihya>' al-Tura>s al-Arabi>,
1993), VI, hlm. 202.
[4] Lihat misalnya Mun’im A.Sirry (ed.), Fiqih
Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis (Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 2004).
[5] Abdul Azi>z al-Barrah, al-Muhaz<<zab
(Beirut: Da>r al-Isla>miyyah, t.t.), hlm. 202.
[6] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam
di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 116
[7] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia
1975-1988 (Jakarta : INIS, 1993), hlm. 1-2
[8] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008),
hlm. 278-285. Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks
Keindonesiaan (Bandung: CV. Utomo, 2009), hlm. 164-166
[9] Bagir Manan, “Hakim sebagai Pembaharu
Hukum” dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 254 Januari
2007., Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2007, hlm. 9-13
[10] Pertimbangan hukum merupakan ruang
pemikiran atau ijtihad hakim yang merupakan jiwa putusan berisi analisis,
argumentasi, pendapat dan kesimpulan hukum hakim sebelum menjatuhkan putusan.
Abdul Manan, Penerapan Hukum…, hlm. 295
[11] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam
Di Indonesia Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 311-327
[12] Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor:
368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal 29 September
1999.
[13] Konsep fiqh konvensional dalam
tulisan ini diambil dari pandangan yang terdapat dalam kitab-kitab fikih
terutama yang banyak beredar di Indonesia, terutama kitab fikih mazhab
Syafi’i seperti al-Muhazzab karangan as-Syirazi, Fath al-Mu’in
karangan al-Malibari. Kitab Fiqh mazhab Syafi’i perlu dicermati karena fiqh
mazhab Syafi’i diikuti oleh mayoritas ummat Islam Indonesia dan oleh karenanya
banyak mempengaruhi hukum Islam di Indonesia. Kitab-kitab Fiqah Mazhab Syafi’i
yang banyak beredar di Indonesia pada pokoknya bersumber pada empat buah kitab
yaitu al-Muharrar karya Imam Rafi’i (w. 1226 M0, Taqrib karya Abu
Syuja’ (w. 1215 M), Qurrah al-‘Ain karya Zainuddin al-Malibari (lahir
1597 M), kitab ini mendapat syarah dari beliau sendiri dengan kitabnya yang berjdudul
Fathu al-Mu’in dan kitab Muqaddimah al-Khadramiyyah karya Ba
Fadhal (hidup abad 16 M). Untuk mengetahui fikih empat Mazhab (Mazhab
Maliki, Hanafi, Syafi’i , dan Hanbali) dalam masalah tersebut, maka
digunakan tiga kitab yaitu al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuh
karangan Dr. Wahbah az-Zuhaili, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib
al-Arba’ah karangan ‘Abd ar-Rahman al-Jazairi dan kitab Bidayah al-Mujtahid
wa Nihayah al-Muqtashid karya Ibn Rusyd. Disamping itu diambilkan juga dari
kitab-kitab dan buku-buku yang membahas pandangan Ulama Fikih seputar
masalah tersebut sesuai referensi yang terjangkau oleh penyusun. Lihat M. Atho’
Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta
: Titian Ilahi Press, 2000), hlm. 109-110., Moenawwar Cholil, Biografi Empat
Serangkai Imam Mazhab, cet. 7 ( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), hlm. 11.
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat (Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 117-123. Andree Feillard, NU Vis-a-Vis Negara Pencarian
Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa Lesmana, cet. 1, ( Yogyakarta:
LKIS, 1999), hlm. 390.
[14] Ada pendapat yang membolehkan seorang
muslim mewarisi non muslim yaitu menurut pendapat fuqaha’ Imamiyah menurut
mereka larangan mewarisi karena perbedaan agama itu tidak mencakup larangan
bagi orang Islam mewarisi kerabatnya yang non muslim. Fatchur Rahman, Ilmu
Waris (Bandung: PT Al Ma’arif, t.tp.), hlm. 99.
[15] Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan
melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991, KHI memuat tiga buku yaitu buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1-170),
Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan (Pasal
215-229). Lihat Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (t. tp.,:
Depag RI, 1998/1999). Mengenai kekuatan hukum Kompilasi Hukum Islam masih ada
perbedaan pendapat di kalangan Ahli Hukum ada yang mengatakan berkekuatan
mengikat dan ada yang mengatakan tidak mengikat (fakultatif),
lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 24-32. Saat ini ada pembahasan tentang
Rancangan Undang-Undang (RUU) Republik Indonesia tentang Hukum Terapan
Peradilan Agama yang memuat 215 pasal yang terdiri dari ketentuan umum (pasal
1), perkawinan (pasal 2-172), kewarisan (pasal 173-215) yang menurut pengamatan
penulis dalam hal perkawinan dan kewarisan RUU tersebut tidak lain adalah
metamorfosis dari KHI. Sedangkan mengenai Hukum Perwakafan juga diajukan
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perwakafan memuat 32 Pasal
(Pasal 1-32), pada bulan September 2004 RUU Wakaf telah disyahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia menjadi Undang-undang. Lihat Rancangan
Undang-Undang RI tahun 2002 tentang Hukum Terapan Peradilan Agama,
Rancangan Undang-Undang RI tahun 2002 tentang Perwakafan, dan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
[16] BAB I Pasal 171 huruf c Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan “Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Lihat
dalam Redaksi Pustaka Tinta Mas, UU RI Nomor 7 Tahun 1989 (Surabaya:
Pustaka Tinta Mas, 1997), hlm. 131.
[17] Tiga belas kitab yang dianjurkan untuk
dipedomani tersebut adalah al-Ba>ju>ri>, Fath} al-Mu’i>n,
Syarqa>wi> ‘ala> at-Tah}ri>r, Qolyu>bi>/Mah}alli>, Fath}
al-Wahha>b dengan Syarahnya, Tuh}fah}, Targi>b al-Musyta>q, Qawa>ni>n
Syar’iyyah li as-Sayyid ibn Yah}ya>, Qawa>ni>n Syar’iyyah li as-Sayyid
S>}adaqah Dah}la>n, Syamsuri fi> al-Fara>id}, Bugyah
al-Musytarsyidi>n, al-Fiqhu ‘ala> al-Maz|a>hib al-Arba’ah, Mugni>
al-Muh}ta>j. Lihat dalam Depag RI, Kompilasi Hukum Islam..., hlm.
128.
[18] Depag RI, Kompilasi Hukum Islam...,
hlm. 127-128. Moh. Mahfud MD, et.al. (Ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi
Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), hlm.
47.
[19] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.1.
[20] Ahmad Rafiq, Hukum Islam...,
hlm. 43-44.
[21] Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah
Hukum Yurisprudensi (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 9
[22] At-Tabari, Tafsi>r Ja>miul
Baya>n (T.tp: Iqa>mu ad-Di>n, 1988), II: 115. Muh}ammad Rasyi>d
Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Beirut: Da>r al-Fikr, tt) II:136.
Ibn Hazm, al-Muh}alla> (Beirut: Da>r al-Fikr, tt) IX:314.
V
Tidak ada komentar:
Posting Komentar