PENEGAKAN HUKUM DAN
TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK[1]
Oleh: Moh. Mahfud MD[2]
Hukum dan Pemerintahan dalam Kehidupan Bernegara
Di
era modern, negara sebagai suatu organisasi kekuasaan keberadaannya
dipahami sebagai hasil bentukan masyarakat melalui proses perjanjian
sosial antara warga masyarakat. Keberadaan negara menjadi kebutuhan
bersama untuk melindungi dan memenuhi hak-hak individu warga negara
serta menjaga tertib kehidupan sosial bersama. Kebutuhan tersebut dalam
proses perjanjian sosial termanifestasi menjadi cita-cita atau tujuan
nasional yang hendak dicapai sekaligus menjadi perekat antara berbagai
komponen bangsa. Untuk mencapai cita-cita atau tujuan tersebut,
disepakati pula dasar-dasar organisasi dan penyelenggaraan negara.
Kesepakatan tersebutlah yang menjadi pilar dari konstitusi sebagaimana
dinyatakan oleh William G. Andrew bahwa terdapat tiga elemen kesepakatan
dalam kontitusi, yaitu (1) tentang tujuan dan nilai bersama dalam
kehidupan berbangsa (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government); (2) tentang aturan dasar sebagai landasan penyelenggaraan negara dan pemerintahan (the basis of government); dan (3) tentang institusi dan prosedur penyelenggaraan negara (the form of institutions and procedure).[3]
Agar
negara yang dibentuk dan diselenggarakan dapat berjalan untuk mencapai
tujuan atau cita-cita nasional, dibentuklah organisasi negara yang
terdiri dari berbagai lembaga negara, yang biasanya dibedakan menjadi
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian,
saat ini organisasi negara telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat.
Sesuai dengan tuntutan perkembangan penyelenggaraan urusan
kenegaraan dan pelayanan kepada masyarakat, kelembagaan dalam organisasi
negara berkembang sedemikian rupa baik dari sisi jumlah, maupun dari
sisi jenis wewenang yang dimiliki. Untuk menangani urusan Pemilihan Umum
misalnya, sesuai dengan proses demokratisasi tidak lagi dapat
diserahkan kepada pemerintah, tetapi harus diselenggarakan oleh suatu
komisi yang bersifat tetap, nasional, dan mandiri. KPU sebagai
penyelenggara Pemilu tentu tidak dapat disebut sebagai lembaga
eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif.
Setiap
lembaga negara memiliki kekuasaan tertentu yang dimaksudkan agar negara
dapat memenuhi tugas yang menjadi alasan pembentukannya, serta untuk
mewujudkan tujuan nasional. Dalam sistem komputerisasi, organisasi
negara dapat diibaratkan sebagai perangkat keras (hardware) yang bekerja menjalankan roda organisasi negara.
Tujuan Hukum dan Pemerintahan
Secara
teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat
universal.
Keadilan
adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum
diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan
penyelenggara negara melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk
menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau
sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak
tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau
suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena
terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan
bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan
mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.
Keadilan
memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di dalam konsep
keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan
kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara
kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan
adalah karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas,
tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata
nilai dan norma lain dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan juga
memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak dapat diwadahi dalam
hukum positif.
Kepastian
hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian
dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah
pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa
memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap
orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan
tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip
persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Namun
demikian antara keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi
gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum
tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Apa yang dikatakan
oleh aturan hukum harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi.
Tidak demikian halnya dengan keadilan yang memiliki sifat dinamis
sehingga penerapan hukum harus selalu melihat konteks peristiwa dan
masyarakat di mana peristiwa itu terjadi.
Di
sisi lain, hukum juga dapat digunakan untuk memperoleh atau mencapai
manfaat tertentu dalam kehidupan berbangda dan bernegara. Di samping
untuk menegakkan keadilan, hukum dapat digunakan sebagai instrumen yang
mengarahkan perilaku warga negara dan pelaksanaan penyelenggaraan negara
untuk mencapai kondisi tertentu sebagai tujuan bersama. Hukum
difungsikan as a tool of social engineering. Dalam
konteks hukum nasional, hukum tentu harus bermanfaat bagi pencapaian
tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan
nasional di atas tentu saja juga harus menjadi tujuan penyelenggaraan
pemerintahan karena pada hakikatnya organisasi negara penyelenggara
pemerintahan dibentuk untuk mencapai tujuan dimaksud. Tujuan nasional
tersebut diterjemahkan ke dalam fungsi, wewenang, dan program dari
setiap organisasi penyelenggara pemerintahan. Dengan demikian antara
tujuan hukum dan tujuan pemerintahan berjalan beriringan. Hukum menjadi
piranti lunak yang mengarahkan pencapaian tujuan nasional, sedangkan
pemerintahan yang menggerakkan agar tujuan tersebut dapat dicapai.
Hubungan Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik
Walaupun
organisasi negara pada hakikatnya dibentuk untuk melindungi hak warga
negara dan mencapai tujuan nasional yang disepakati bersama, namun dalam
sejarah perkembangan negara banyak terjadi penyimpangan. Organisasi
negara yang menyelenggarakan pemerintahan, terutama eksekutif,
seringkali menjadi organisasi yang memiliki kepentingan sendiri dan
melalaikan bahkan menindas kepentingan warga negara. Hal itu telah
dialami oleh bangsa Indonesia, terutama pada masa Orde Baru hingga
lahirnya reformasi. Hukum yang seharusnya menjadi instrumen untuk
mengarahkan, membatasi dan mengontrol pemerintahan, justru menjadi
legitimasi atau pembenar bagi tindakan negara yang melanggar hak warga
negara serta mengkhianati pencapaian tujuan nasional.
Bersamaan
dengan datangnya era reformasi, tuntutan perubahan penyelenggaraan
pemerintahan pun menguat. Organisasi pemerintahan yang korup, baik
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, harus diubah dan dikembalikan
kepada jati diri pembentukannya, yaitu untuk melindungi dan memenuhi hak
dan kepentingan rakyat serta untuk mencapai tujuan nasional.
Prinsip-prinsip negara hukum dan pemerintahan yang demokratis menjadi
arus utama reformasi penyelenggaraan pemerintahan yang melahirkan
paradigma baru yang dikenal dengan istilah good governance atau tata
kelola pemerintahan yang baik.
Tugas
dan fungsi pemerintahan didefinisikan kembali untuk menghindari
pemusatan kekuasaan pada negara melalui pemilahan tugas-tugas yang lebih
tepat ditangani pemerintah dengan tugas-tugas yang sewajarnya
diserahkan kepada pasar dan masyarakat sipil. Tujuan dari upaya tersebut
adalah: (a) mendudukan peran pemerintah lebih sebagai katalisator,
regulator, fasilitator, pengarah, pembina, dan pengawas penyelenggaraan
urusan pemerintahan, (b) perlindungan HAM dan pelaksanaan demokrasi, (c)
pemerataan pendapatan dan penanggulangan kemiskinan, dan (d)
penyelenggaraan pemerintahan yang menjamin kepastian hukum, keterbukaan,
profesionalitas dan akuntabilitas.[4]
Untuk mencapai tujuan tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menyebutkan 10 prinsip yang harus dilaksanakan, yaitu:
- Partisipasi, menjamin kerjasama dan partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
- Penegakan Hukum, dilaksanakan secara konsekuen, konsisten, memperhatikan HAM, termasuk pemberian insentif.
- Transparansi, informasi yang terbuka bagi setiap pihak untuk setiap tahap pemerintahan.
- Daya tanggap, respon yang tepat dan cepat terhadap permasalahan atau perubahan yang terjadi.
- Kesetaraan, persamaan kedudukan bagi warga negara tanpa diskriminasi.
- Visi strategis, tersedianya kebijakan dan rencana yang terpadu serta jangka panjang.
- Efisiensi dalam penggunaan sumber daya.
- Profesionalisme, ketrampilan dan komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik.
- Akuntabilitas, bertanggungjawab kepada publik atas keputusan dan tindakan penyelenggara.
- Pengawasan, tersedianya pengawasan yang efektif dengan keterlibatan masyarakat.
Terdapat empat syarat untuk menciptakan “good governance”, yaitu: Pertama,
menciptakan efisiensi dalam manajemen sektor publik dengan
memperkenalkan model-model pengelolaan perusahaan di lingkungan
administrasi pemerintahan, melakukan kontrak-kontrak dengan pihak swasta
atau NGOs untuk menggantikan fungsi yang ditangani pemerintahan
sebelumnya, dan melakukan desentralisasi administrasi pemerintahan; Kedua,
menciptakan akuntabilitas publik, dalam arti apa yang dilakukan oleh
pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik; Ketiga,
tersedianya infrastruktur hukum yang memadai dan sejalan dengan
aspirasi masyarakat dalam rangka menjamin kepastian sistem pengelolaan
pemerintahan; Keempat, adanya sistem informasi yang menjamin akses masyarakat terhadap instrumen hukum dan berbagai kebijakan pemerintah; Kelima,
adanya transparansi dari berbagai kebijakan mulai dari proses
perencanaan hingga evaluasi sebagai pelaksanaan hak dari masyarakat (rights to information).[5]
Sesuai
dengan konstruksi hubungan antara hukum dan penyelenggaraan
pemerintahan, maka terwujudnya penegakan hukum dengan pelaksanaan tata
kelola pemerintahan yang baik pun berkaitan erat. Penegakan hukum hanya
dapat dilakukan apabila lembaga penegak hukum dan peradilan menerapkan
prinsip good governance. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa good governance
tidak hanya perlu diterapkan pada cabang kekuasaan eksekutif, tetapi
termasuk juga pada cabang kekuasaan yudikatif dan lembaga penegak hukum.
Suramnya dunia hukum kita saat ini salah satu faktornya adalah belum
diterapkannya good governance. Prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan pengawasan sebagai inti dari good governance
belum berjalan dengan baik di institusi penegak hukum dan lembaga
peradilan. Dalam kondisi yang demikian, hukum masih sangat berpotensi
untuk disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan dan kekayaan orang
perorang sembari mengesampingkan aspek keadilan sebagai tujuan hukum
serta menelantarkan upaya pencapaian tujuan nasional.
Di sisi lain, sesuai dengan prinsip negara hukum, maka prinsip-prinsip good governance
hanya mungkin terwujud dan terlaksana apabila diterjemahkan dalam
aturan hukum yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan dan
ditegakkan dalam pelaksanaannya. Dengan kata lain, good governance hanya mungkin terwujud jika penegakan hukum dilakukan, khususnya hukum yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism. 3rd edition. New Jersey: Van Nostrand Company, 1968.
Dicey, A.V. Introduction to the Study of the Law of the Constitution. Tenth Edition. London: Macmillan Education LTD, 1959.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Clean Government dan Good Government Untuk meningkatkan Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik. Jakarta 2005,
Laode Ida. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal, Dan Clean Governement. Jakarta: PSPK, 2002.
Moh. Mahfud MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999.
_______________ Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2007.
Prakash, Aseem and Jeffrey A. Hart (eds.). Globalization And Governance. London and New York: Routledge, 2000.
[1]
Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang
diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Jakarta, 8 Januari 2009.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi.
[3] William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 12 – 13.
[4] Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Clean Government dan Good Government Untuk meningkatkan Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik, Jakarta 2005, hal. 2
[5] Laode Ida, Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal, Dan Clean Governement, (Jakarta; PSPK, 2002), hal. 41-42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar