selamat datang di website resmi fakultas hukum universitas darussalam ambon kelas c masohi

selamat datang di website resmi fakultas hukum universitas darussalam ambon kampus c masohi

Senin, 09 April 2012

FILSAFAT HUKUM

1.Pengertian Filsafat Hukum
Purnadi purbasaraka dan Soerjono Soekamto (1979: 11) mengatakan “filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai misalnya penyerasian antara ketertiban dan ketenteraman, antara kebendaan dengan keakraban, dan antara kelanggengan konservatisme dengan pembaharuan”.
Menurut Muhadi (1989: 10) : “filsafat hukum adalah falsafah tentang hukum, falsafah tentang segala sesuatu di bidang hukum secar mendalam sampai ke akar-akarnya secara sistematis.
Soedjono Dirdjosisworo (19884: 48) mengatakan filsafat hukum adalah pendirian atau penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau negara tentang hakikat ciri-ciri serta landasan berlakunya hukum.
Van Apeldoorn 981975) menguraikan sebagai berikut : “filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan : apakah hukum itu? Ia menghendaki agar kita berpikir secara mendalam tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita anggap tentang hukum”.

Rumusan lain adalah dari E.Utrecht (1966), mengetengahkan sebagai berikut : “filsafat hukum memberikan jawaban atas pertanyaan seperti : apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan : adanya dan tujuan hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum, tetapi juga bagi orang jawaban ilmu hukum tidak memuasakan. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai sutau gejal saja, yang menerima hukum sebagai suatu “gegebenheit” belaka.
Uraian lainnya tentang filsafat hukum adalah dari Kusuma Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa pertanyaan penting yang harus diselidiki oleh filsafat hukum. Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan karena sifatnya yang sangat mendasar tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan hukum. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan adalah sebagai berikut : “dan sekali mempersoalkan hal-hal dari ilmu hukum, dekatlah orang kepada pertanyaan-pertanyaan seperti : Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Bagaimanakah hubungan antara hukum dan keadilan? Dengan pertanyaan-pertanyaan demikian orang sudah melewati batas-batas ilmu pengetahuan hukum sebagimana arti lazimnya dan menginjak lapangan filsafat hukum sebagai ilmu pengetahuan filsafat.
Selanjutnya Satjipto Raharjo (1982 : 321), menguraikan filsafat hukum sebagai berikut : filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atsa dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis dari asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri. Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum mengambil hukum sebagai fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan menggunakan standar analisis seperti tersebut diatas.
Selanjutnya Gustaf Radbruch (1952) merumuskan : Fisafat hukum adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedang Langemeyer (1948), mengatakan bahwa filsafat hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum.
Penulis lain yaitu Anthoni D’Amato (1984: 2) menyatakan : “Jurisprudensi atau filsafat hukum adalah acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dari pengertian hukum secara abstrak”.
Menurut Bruse D.Fischer (1977 : 1) : Jurisprudensi adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa latin yang berarti kebijaksanaan (“prudencce”) berkenaan dengan hukum (“juris”) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum”.
Berbeda dengan para penulis diatas, Kari N. Llewellyn (1962 : 3 ) menyatakan : kesulitan dalam memberikan kerangka dan konsep tentang hukum adalah karena terlampau banyaknya perihal yang terkait sementara satu sama lain di antara perihal yang terkait ini sangat berbeda sekali.
Menurut asal katanya, filsafat berasal dari kata yunani “filosofia”, filosofia merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata filo dan sofia, filo berarti cinta (yaitu ingin) dan sofia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian filosofia dapat diartikan sebagi cinta akan kebijaksanaan.
2. Ruang Lingkup Pembahasan Filsafat Hukum.
Masalah-masalah dasar yang menjadi perhatian para filsuf pada masa dahulu terbatas pada masalah tujuan hukum (terutama masalah keadilan), hubungan hukum alam dan hukum positif, hubungan negara dan hukum, dan lain-lain.
Pada masa kini, objek pembahasan filsafat hukum tidak hanya masalah tujuan hukum saja, akan tetapi setiap permasalahan yang yang mendasar sifatnya yang muncul di dalam masyarakat yang memerlukan suatu pemecahan. Filsafat hukum sekarang bukan lagi filsafat hukumnya para ahli fisafat seperti pada masa lampau, akan tetapi merupakan buah pemikiran para ahli hukum (teoritisi maupun praktisi) yang dalm tugas sehari-harinya banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan sosial di masyarakat, masalh-masalh hukum seperti :
§ Hubungan hukum dengan kekuasaan.
§ Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya.
§ Apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang.
§ Apa sebabnya orang mentaati hukum.
§ Masalah pertanggungjwaban.
§ Masalah hak milik.
§ Masalah kontrak.
§ Masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
§ Dan lain-lain
3. perkembangan filsafat hukum sejak zaman purbakala hingga saat ini.
Di dalam literatur-literatur terdapat beberapa pembabakan atau periodisasi daripada perkembangan filsafat (hukum) itu dari zaman ke zaman. Pembabakan yang lazim adalah sebagai berikut :

I. zaman purbakala.
Dimulai dengan masa pra-Socrates (disebut demikian karena para filsuf pada masa itu tidak dipengarui oleh filsuf besar Socrates). Alasan utama karena para filsuf pada masa ini memusatkan perhatiannya kepada alam semesta yaitu yang menjadi masalah tentang bagaimana terjadinya alam semesta ini. Filsuf Thales yang hidup pada tahun 624-548 S.M mengemukakan bahwa alam semesta terjadi dari air. Anaximandros mengatakan bahwa inti alam itu adalah suatu zat yang tidak tentu sifat-sifatnya yang disebut to apeiron. Anaximenes berpendapat sumber daripada alam semesta ialah udara.sedang Pitagoras yang hidup sekitar 532 S.M. menyebutkan bilangan sebagai dasr daripada segala-galanya. Heraklitos mengatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari api. Dia mengemukakan dengan suatu slogan yang terkenal hingga saat ini yaitu panterei yang berarti semua mengalir.ini berarti bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak henti-hentinya berubah.
Kaum Sofist yang lahir pada akhir abad lima dan permulaan abad empat sebelum masehi menekankan perbedaan antara alam (physis) dan konvensi (nomos). Hukum mereka masukkan dalam kategori terakhir karena menurutnya hukum adalah hasil karya cipta manusia (human invention) dan menjudstifikasi (membenarkan) kepatuhan pada hukum hanya sejauh memajukan keuntungan bagi yang bersangkutan. Alcibiades (xenophon, memorabilis 1,2) mengatakan pada Pericles bahwa tidak ada seorangpun yang patut menerima pujian kecuali jika ia mengetahui apa suatu (aturan) hukum itu. Pericles menjawab bahwa aturan hukum adalah apa yang disetujui dandiputuskan (enacted) oleh matoritas dalm dewan. Kepatuhan yang diperoleh hanya dengan paksaan(compulsion) adalah kekuatan sana dan bukan hukum, sekalipun aturan hukum itu diberlakukan oleh kekuasaan yang sah (souvereign power) dalm negara.
Bila kaum sofis menganggap bahwa manusia bersifat egois dan anti sosial maka Socrates, seperti juga Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia adalah makhluk sosialyang dimotivasi olehperhatian bagi orang lain dan perhatian bagi diri sendiri, yang memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan sosial.
Menurut Plato hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara (law, 644d), ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah (governing power).
Seperti juga Plato, Aristoteles juga menolak pandangan kaum sofis bahwa hukum hanyalah konvensi. Namun, demikian ia juga mengakui bahwa seringkali hukum hanyalah merupakan ekspresi dari suatu kemauan suatu kelas khusus (sekelompok orang, aparticular class) dan menekankan peranan kelas menengah (middle class) sebagai suatu faktor stabilisasi. Bahasan Aristoteles tentang proses peradilan (judicial process) sudah membayangkan (foreshadows) banyak gagasan modern. Memiliki aturan hukum tertulis adalahlebih baik daripada hanya mengandalkan diri pada kebijaksanaan (discretion), meski memang tidak semua hal tercakup dalam aturan-aturan hukum.
Pada masa Romawi, perkembangan filsafat hukum tidak segemilang pada masa yunani. Sebabnya oleh karena masa ini para ahli pikir lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada masalah bagaimana hendak mempertahankan ketertiban di seluruh kawasan kekaisaran Romawi. Para ahli filsuf dituntut untuk memikirkan bagaimana caranya memerintah Romawi sebagai suatu kerajaan dunia.
Kaum stoa yakin akan persamaan semua manusia dalam persekutuan universal (negara,universal commonwealth) dan menolak doktrin perbudakan dari Aristoteles. Mereka memandang alam semesta sebagai substansi organik yang tunggal. Mereka juga telah menjalan pengaruh abadi terhadap pemikiran hukum. Alam yang memperlihatkan struktur dan ketertiban (keteraturan) dan manusia, dua-duanya mengambil bagian bagian dalm intelegensi, atau akal budi (reason, logos).
Filsafat hukum Cicero dalam esensinya bersifat stoa. Ia menolak bahwa hukum positif dari suatu masyarakat (tertulis atau kebiasaan) adalah tentang standar apa yang adil, bahkan jika hukum itu diterima secara adil. Ia juga tidak menerima utilitas semata-mata adalah standar : “keadilan itu satu mengikat semua masyarakat manusia dan bertumpu di atas satu hukum yaitu akal budiyang benar diterapkan untuk memerintah dan melarang” (deligibus 1, 15).
Seneca, seperti juga cicero, juga membantu meneruskan membantu (menstransmit) gagasan-gagasan stoa kepada pemikir-pemikir kemudian. Ia mengulangi mengemukakan konsepsi tentang persamaan (equality) semua manusia, namun yang mungkin lebih penting adalah konsepsi tentang zaman emas dari manusia yang bebas dosa (human innocence), suatu situasi alamiah prapolitik setelah sifat manusia mengalami kemerosotan diperlukan adanya institusi-institusi hukum.
Para yuris Romawi jelas terpengaruh oleh ajaran kaum stoa. Mereka membedakan tiga jenis hukum : jus naturale, jus gentium, jus civile. Gaius (Intitutes, pertengahan abad kedua) mengidentifikasikan jus naturale dan jus gentium sebagai asas-asas hukum universal yang sesuai dengan akal budi alamiah dan ekuitas. Hukum bukan hanya sekedar ekspresi kemauan dan institusi manusia, melainkan sesuatu yang dipahami dan dipatuhi secara rasional. Jus gentium adalah inti rasional dari institusi-institusi hukum yang ada dan bukan merupakan suatu hukum ideal yang digunakan menguji hukum positif.
Berbeda dengan Gaius, Ulpianus (170-228) membedakan jus naturale dari jus gentium. Menurutnya alam juga mengajarkan jus naturale pada semua binatang. Berdasarkan jus naturale, semua manusia dilahirkan bebas. Perbudakan dan peraturan-peraturan yang bertalian dengan itu adalah produk dari jus gentium.
II. Abad Pertengahan.
1. Masa Kegelapan (The ark Ages)
Masa ini dimulai dengan runtuhnya kekaisaran Romawi akibat serangan bangsa lain yang dianggap terbelakang yang datng dari utara yaitu yang disebut suku-suku Germania. Tingkatan peradaban yang tinggi dari bangsa Romawi hanyalah tinggal puing-puing semata. Karena tiada peninggalan dari suku yang berkuasa, menyebabkan para ahli masa kinisukar secara pasti menentukan apa yang terjadi di masa gelap ini
2. Masa Scolastik
Pada masa ini terjadi peralihan, dalam alam pikiran Yunani terdapat empat aliran pikiran yang besar yaitu Plato, Aristoteles, Stoa, dan Epicarus. Sebagai akibat daripada perbedaan pendapat pertentangan-pertentengan serta perselisihan di kalangan aliran-aliran ini telah lahir ajaran baru yang di sebut Ecletisisme. Setelah ini muncul masa lain yang di kenal dalam dunia filsafat sebagai masa Neo Platonisme dengan Platinus sebagai tokoh yang terbesar. Filsuf ini yang mula-mula membangun suatu tata filsafat yang bersifat ke-Tuhanan. Neo-Platonisme ini lahir di Alexandria sebagai suatu tempat pertemuan antara filsafat Yunani dan Agama Kristen. St Agustinus disebut-sebut oleh kalangan ahli filsafat sebagai menjembatani alam pikiran Yunani dan alam pikiran kristen.

III. Zaman renaissance.
Zaman ini ditandai dengan tidak terikatnya lagi alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan, manusia menemukan kembali kepribadiannya. Akibat daripada perubahan ini, terjadi perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangan pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu-ilmu baru dan lain sebagainya. Semua itu hanya terjadi oleh karena adanya kebebasan daripara individu untuk menggunakan akal pikirannya tanpa adanya rasa takut.
Sekitar abad kedua belas filsafat hukum mendapat dorongan segar ketika studitentang hukum Romawi di hidupkan kembali. Ada usaha-usaha mempertemukan (mendamaikan) perbedaan-perbedaan di antara paraYuris Romawi tentangdefinisi-definisi hukum dan klasifikasi cabang-cabangnya. Secara garis besar para ahli hukum sipil mengikuti tradisi pemikir hukum alam, jus mengalitrdari justicia meski ia tidak pernah mencapai taraf keadilan sempurna yang hanya pada Tuhan.
Teori Thomas Aquinas yang mengintengrasikan unsur-unsur pandangan Stoa, ajaran Kristen, dan filsafat Aristoteles ke dalam suatu filsafat yang komprehensif merupakan kulminasi dari hukum. Hukum alam adalah sebuah standar terhadap mana hukum manusia harus konform. Menurutnya, aturan-aturan hukum adalah peraturan akal budi (ordinances of reason) yang diundangkan bagi kebaikan umum oleh penguasa yang sah (legitimate souvereign). Dibedakan empat jenis hukum ; Lex aeterna (hukum abadi, eternal law), suatu ekspresi peraturan alam semesta secara rasional dari Tuhan; Lex divina (hukum ilahi, divine law) yang membimbing manusia menuju tujuansupranaturalnya, hukumTuhan yang diwahyukan melalui kitab suci; Lex naturalis (hukum alam, natural law) membimbing manusia menuju tujuan alamiahnya, hasil partisipasi manusia dalam hukum kosmik; Lex humana (hukum manusia, human law) mengatur hubungan manusia dalam suatu masyarakat tersebut (sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan).
Jean Bodin pandangan-pandangannya banyak dipengaruioleh penstudi hukum sipil abad keempat belas. Dalam “lex six livres de la replubique” Bodin menekankan bahwa hukum tiada lain daripada perintah dari yang berdaulat (raja) dalam menjalankan kekuasaannya kedaulatannya. Namunkekuasaan raja tidaklah melampaui hukum alam yang didekritkan Tuhan. Bodin tidak membenarkan akal yang benarmempertautkan hukum alam dengan hukum positif atau hukum kebiasaan. Bodinadalah orang pertama yang mengatakan bahwa kebiasaan memperoleh kekuatan (legal authority) pada pengesahan oleh penguasa secara tidak eksplisit (diam-diam).
Dalam ‘De Jure Belli Pacis” (1625) Grotius mengembangkan gagasan tentang suatu “peperangan yang adil” (jus war), suatu topik yang mempersoalkan masalh sanksi dalamhukum internasional yang masih didiskusikan oleh H.Kelsen dan para teoritisi abad ke-20 yang lain. Peperangan yang adil mengprasuposisi (mengandaikan) adanya kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara yang berdaulat, kaidah hukum yang demikian mempunyai sebagai asal usulnya dalam hukum alam dan dalam traktat-traktat yang pada gilirannya mengprasuposisi aturan-aturan (perintah) dari hukum alam.
IV. Zaman Baru.
Filsuf hukum yang paling penting dalam abad tujuh belas, Thomas Hobbes (1588-1649) memutuskan tradisi hukum alam yang menimbulkan banyak kontroversi. Ia banyak menggunakan istilah-istilah “hak alamiah” (law of nature) dan “akal benar” (right reason). Tetapi yang pertama baginya adalah tiada lain kemerdekaanyang tiap orang miliki untuk menggunakan kekuasaan (kekuatan) nya sendiri menurut kehendaknya sendiri, demi untuk preservasi hakikatnya sendiri. Yang kedua adalah asas-asas kepentingan sendiri (self interest) yang seringkali diidentifikasikan dengan yang ketiga.
Montesquieu (1689-1755) telah membawa suatu pendekatan baru dalam mempelajari hukum dan institusi-institusinya. Menurutnya kaidah kaidah hukum adalah “relasi-relasi yang perlu timbul dari hakikat hal-hal (benda-benda). Nilai penting yang istemewa dari karya Montesquieu terletak dalam percobaannya untuk mempelajari institusi-institusi hukum dengan metode historis-komparatif, menekankan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan hukum.
Filsafat hukum Immanuel Kant (1724-1804) dapat disebut sebagai suatu filsafat tentang keadilan yang di dalamnya konsep kebebasan memainkan peranan sentral. Kant berusah menemukan suatu pemahaman sistematik mengenai asas-asas yang melandasi semua kaidah hukum positif yang akan memungkinkan kita menentukan kesesuian kaidah hukum tersebut dengan asas-asas moral.kaidah-kaidah hukum dibedakan dari kaidah-kaidah moral dalam hal mengatur perilaku eksternal terlepas dari motivasi-motivasinya, meski tidak berarti hakim harus mengabaikan motivasi pelanggar hukum pada saat menjatuhkan hukuman.
Jeremy Bentham (1748-1832) telah menghasilkan pembaharuan hukum (legal reform) yang mana pandangan-pandangannya sangay cocok untuk menangani masalah-masalah yang ditimbulkan oleh revolusi industri di inggris. Pada saat disiplin-disiplin ilmu sejarah, antropologi, dan etnologi mendapatkan kedudukan makinpenting pada abad kesembilan belas, berkembanglah pendekatan-pendekatan yang bersaing tentang pemahaman hukum. Seperti halnya pandangan Austin yang kemudian menjadi bahan diskusi serius baik di luar maupun di dalam tradisi-tradisi positivisme dan analitical jurisprudence.
Friedrich Karl Von Savigny (1779-1861) yang seringkali dianggap sebagai pendiri aliran sejarah mengungkapkan, hukum seperti juga bahasa timbul secara spontan dalam kesadaran umum (common consciusness) dari suatu masyarakat yang mewujutkan suatu realitas organik (organic being). Meski Savigny yakin bahwa dengan menerima konsesipnya tentang hukum berarti menolak gagasan yang lebih tua tentang hukum alam, sering dikatakan bahwa konsepsi Savigny hanya suatu jenis hukum alam yang baru yang berdiri di atas dan menilai (menjadi batu uji) hukum positif.
V. Zaman Modern.
Rudolf Von Jhering (1818-1892 ) menolak teori Hegel karena Hegel menganggap hukum sebagi suatu ekspresi dari kemauan umum (general will) dan tidak mampu melihat bahwa faktor-faktor utilitaristis dan kepentingan-kepentingan menetukan eksistensi hukum. Jhering juga menolak anggapan bahwa hukum adalh ekspresi spontan dari kekuatan bawah sadar (subconscious forcess) seperti yang dikatakan Savigny. Ia juga menolak Savigny karena Savigny tidak dapatmelihat peranan dari perjuangan secara sadar untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Namun seperti juga para Hegelian , Jhering menganut urientasi kultural yang luas. Kontribusi Jhering adalah keyakinannya (penekanannya bahwa fenomena hukum tidak dapat dipahami tanpa pemahaman sistematik terhadap tujuan-tujuan yang telah menimbulkan fenomena hukum), studi tentang tujuan-tujuan itu yang berakal dalam kehidupan sosial yang tanpa itu tidak akan mungkin ada aturan-aturan hukum.
Terpengaruh oleh Epistemologi Neo Kantian, Hans Kelsen, seorang eksponen utama positivisme yang dianggap sebagai tokoh yang paling kontroversial dan mungkin paling berpengaruh, secara tajam membedakan antara “yang ada” (is) dan “yang seharusnya ada” (the ought) dan secara konsekuen antara ilmu-ilmu alam dan disiplin-disiplin, deperti ilmu hukum yang mempelajari fenomena “normatif”.
Gustaf Radbruch (1878-1949) meski tidak membentuk aliran, mempunyai banyak kesamaan dengan pandangan Kelsen, dalam pendiriannya yang disebutnya relativisme.Radbruch memepertahankan bahwa hukum yang merupakan suatu gejala kultural dapat dipahami hanya dalam hubungan nilai-nilai yang diperjuangkan manusia untuk diwujudkan melalui hukum.
4. Filsafat Hukum Dan Ilmui-lmu Hukum
Hans Nawiasky membagi ilmu-ilmu hukum itu atas :
Rechtsnormenlehre, rechtssoziologie dan rechts philosophie. Sedang Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto mengemukakan bahwa disiplin hukum itu mencakup :
Ø ilmu-ilmu hukum.
Ø Politik hukum.
Ø filsafat hukum
Ilmu-ilmu hukum terdiri dari : normwissenchft atau sollenwissenschaft, ilmu pengertian dan tatsachenwissenschaft atau seinwissenchaft (ilmu tentang kenyataan). Seinwissenschaft ini dibagi lagi menjadi : sosiologi hukum, antropologi hukum psikologi hukum, perbandingan huku,dan sejarah hukum. Ada pula yang membagi ilmu-ilmu yang objeknya hukum di atas :
Ø teori hukum
Ø sosiologi hukum
Ø perbandingan hukum
Ø sejarah hukum
Ø ilmu positif hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar