Purnadi purbasaraka dan
Soerjono Soekamto (1979: 11) mengatakan “filsafat hukum adalah perenungan dan
perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian
nilai-nilai misalnya penyerasian antara ketertiban dan ketenteraman, antara
kebendaan dengan keakraban, dan antara kelanggengan konservatisme dengan
pembaharuan”.
Menurut Muhadi (1989: 10)
: “filsafat hukum adalah falsafah tentang hukum, falsafah tentang segala
sesuatu di bidang hukum secar mendalam sampai ke akar-akarnya secara
sistematis.
Soedjono Dirdjosisworo
(19884: 48) mengatakan filsafat hukum adalah pendirian atau penghayatan
kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau negara tentang hakikat
ciri-ciri serta landasan berlakunya hukum.
Van Apeldoorn 981975) menguraikan sebagai berikut :
“filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan : apakah hukum itu? Ia
menghendaki agar kita berpikir secara mendalam tentang tanggapan kita dan
bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita anggap tentang hukum”.
Rumusan lain adalah dari
E.Utrecht (1966), mengetengahkan sebagai berikut : “filsafat hukum memberikan
jawaban atas pertanyaan seperti : apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan :
adanya dan tujuan hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga
dijawab oleh ilmu hukum, tetapi juga bagi orang jawaban ilmu hukum tidak
memuasakan. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai
sutau gejal saja, yang menerima hukum sebagai suatu “gegebenheit”
belaka.
Uraian lainnya tentang
filsafat hukum adalah dari Kusuma Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa
pertanyaan penting yang harus diselidiki oleh filsafat hukum.
Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan karena sifatnya yang sangat mendasar
tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan hukum. Adapun pertanyaan-pertanyaan
yang dikemukakan adalah sebagai berikut : “dan sekali mempersoalkan hal-hal
dari ilmu hukum, dekatlah orang kepada pertanyaan-pertanyaan seperti : Apakah
tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Bagaimanakah hubungan
antara hukum dan keadilan? Dengan pertanyaan-pertanyaan demikian orang sudah
melewati batas-batas ilmu pengetahuan hukum sebagimana arti lazimnya dan
menginjak lapangan filsafat hukum sebagai ilmu pengetahuan filsafat.
Selanjutnya Satjipto
Raharjo (1982 : 321), menguraikan filsafat hukum sebagai berikut : filsafat
hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi
kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat
mendasar itu. Atsa dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan
kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi
masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum
positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan
konsistensi logis dari asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta
sistem hukumnya sendiri. Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat
hukum mengambil hukum sebagai fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya,
untuk kemudian dikupas dengan menggunakan standar analisis seperti tersebut
diatas.
Selanjutnya Gustaf
Radbruch (1952) merumuskan : Fisafat hukum adalah cabang filsafat yang
mempelajari hukum yang benar. Sedang Langemeyer (1948), mengatakan bahwa
filsafat hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum.
Penulis lain yaitu Anthoni D’Amato (1984: 2) menyatakan :
“Jurisprudensi atau filsafat hukum adalah acapkali dikonotasikan sebagai
penelitian mendasar dari pengertian hukum secara abstrak”.
Menurut Bruse D.Fischer
(1977 : 1) : Jurisprudensi adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini
berasal dari bahasa latin yang berarti kebijaksanaan (“prudencce”) berkenaan
dengan hukum (“juris”) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang
filsafat hukum”.
Berbeda dengan para
penulis diatas, Kari N. Llewellyn (1962 : 3 ) menyatakan : kesulitan dalam
memberikan kerangka dan konsep tentang hukum adalah karena terlampau banyaknya
perihal yang terkait sementara satu sama lain di antara perihal yang terkait
ini sangat berbeda sekali.
Menurut asal katanya,
filsafat berasal dari kata yunani “filosofia”, filosofia merupakan kata
majemuk yang terdiri dari kata filo dan sofia, filo
berarti cinta (yaitu ingin) dan sofia berarti kebijaksanaan. Dengan
demikian filosofia dapat diartikan sebagi cinta akan kebijaksanaan.
2. Ruang Lingkup
Pembahasan Filsafat Hukum.
Masalah-masalah dasar
yang menjadi perhatian para filsuf pada masa dahulu terbatas pada masalah
tujuan hukum (terutama masalah keadilan), hubungan hukum alam dan hukum
positif, hubungan negara dan hukum, dan lain-lain.
Pada masa kini, objek
pembahasan filsafat hukum tidak hanya masalah tujuan hukum saja, akan tetapi
setiap permasalahan yang yang mendasar sifatnya yang muncul di dalam masyarakat
yang memerlukan suatu pemecahan. Filsafat hukum sekarang bukan lagi filsafat
hukumnya para ahli fisafat seperti pada masa lampau, akan tetapi merupakan buah
pemikiran para ahli hukum (teoritisi maupun praktisi) yang dalm tugas
sehari-harinya banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan sosial
di masyarakat, masalh-masalh hukum seperti :
§ Hubungan hukum dengan kekuasaan.
§ Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya.
§ Apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang.
§ Apa sebabnya orang mentaati hukum.
§ Masalah pertanggungjwaban.
§ Masalah hak milik.
§ Masalah kontrak.
§ Masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
§ Dan lain-lain
3. perkembangan
filsafat hukum sejak zaman purbakala hingga saat ini.
Di dalam
literatur-literatur terdapat beberapa pembabakan atau periodisasi daripada
perkembangan filsafat (hukum) itu dari zaman ke zaman. Pembabakan yang lazim
adalah sebagai berikut :
I. zaman purbakala.
Dimulai dengan masa
pra-Socrates (disebut demikian karena para filsuf pada masa itu tidak
dipengarui oleh filsuf besar Socrates). Alasan utama karena para filsuf pada
masa ini memusatkan perhatiannya kepada alam semesta yaitu yang menjadi masalah
tentang bagaimana terjadinya alam semesta ini. Filsuf Thales yang hidup pada
tahun 624-548 S.M mengemukakan bahwa alam semesta terjadi dari air.
Anaximandros mengatakan bahwa inti alam itu adalah suatu zat yang tidak tentu
sifat-sifatnya yang disebut to apeiron. Anaximenes berpendapat sumber
daripada alam semesta ialah udara.sedang Pitagoras yang hidup sekitar 532 S.M.
menyebutkan bilangan sebagai dasr daripada segala-galanya. Heraklitos
mengatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari api. Dia mengemukakan dengan suatu
slogan yang terkenal hingga saat ini yaitu panterei yang berarti semua
mengalir.ini berarti bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak henti-hentinya
berubah.
Kaum Sofist yang lahir
pada akhir abad lima dan permulaan abad empat sebelum masehi menekankan perbedaan
antara alam (physis) dan konvensi (nomos). Hukum mereka masukkan dalam kategori
terakhir karena menurutnya hukum adalah hasil karya cipta manusia (human
invention) dan menjudstifikasi (membenarkan) kepatuhan pada hukum hanya sejauh
memajukan keuntungan bagi yang bersangkutan. Alcibiades (xenophon, memorabilis
1,2) mengatakan pada Pericles bahwa tidak ada seorangpun yang patut menerima
pujian kecuali jika ia mengetahui apa suatu (aturan) hukum itu. Pericles
menjawab bahwa aturan hukum adalah apa yang disetujui dandiputuskan (enacted)
oleh matoritas dalm dewan. Kepatuhan yang diperoleh hanya dengan
paksaan(compulsion) adalah kekuatan sana dan bukan hukum, sekalipun aturan
hukum itu diberlakukan oleh kekuasaan yang sah (souvereign power) dalm negara.
Bila kaum sofis
menganggap bahwa manusia bersifat egois dan anti sosial maka Socrates, seperti
juga Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia adalah makhluk sosialyang
dimotivasi olehperhatian bagi orang lain dan perhatian bagi diri sendiri, yang
memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan sosial.
Menurut Plato hukum adalah pikiran yang masuk akal
(reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara (law, 644d),
ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan
dari kekuatan yang memerintah (governing power).
Seperti juga Plato,
Aristoteles juga menolak pandangan kaum sofis bahwa hukum hanyalah konvensi.
Namun, demikian ia juga mengakui bahwa seringkali hukum hanyalah merupakan
ekspresi dari suatu kemauan suatu kelas khusus (sekelompok orang, aparticular
class) dan menekankan peranan kelas menengah (middle class) sebagai suatu
faktor stabilisasi. Bahasan Aristoteles tentang proses peradilan (judicial
process) sudah membayangkan (foreshadows) banyak gagasan modern. Memiliki
aturan hukum tertulis adalahlebih baik daripada hanya mengandalkan diri pada
kebijaksanaan (discretion), meski memang tidak semua hal tercakup dalam
aturan-aturan hukum.
Pada masa Romawi,
perkembangan filsafat hukum tidak segemilang pada masa yunani. Sebabnya oleh
karena masa ini para ahli pikir lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada
masalah bagaimana hendak mempertahankan ketertiban di seluruh kawasan
kekaisaran Romawi. Para ahli filsuf dituntut untuk memikirkan bagaimana caranya
memerintah Romawi sebagai suatu kerajaan dunia.
Kaum stoa yakin akan
persamaan semua manusia dalam persekutuan universal (negara,universal
commonwealth) dan menolak doktrin perbudakan dari Aristoteles. Mereka memandang
alam semesta sebagai substansi organik yang tunggal. Mereka juga telah menjalan
pengaruh abadi terhadap pemikiran hukum. Alam yang memperlihatkan struktur dan
ketertiban (keteraturan) dan manusia, dua-duanya mengambil bagian bagian dalm
intelegensi, atau akal budi (reason, logos).
Filsafat hukum Cicero
dalam esensinya bersifat stoa. Ia menolak bahwa hukum positif dari suatu
masyarakat (tertulis atau kebiasaan) adalah tentang standar apa yang adil,
bahkan jika hukum itu diterima secara adil. Ia juga tidak menerima utilitas
semata-mata adalah standar : “keadilan itu satu mengikat semua masyarakat
manusia dan bertumpu di atas satu hukum yaitu akal budiyang benar diterapkan
untuk memerintah dan melarang” (deligibus 1, 15).
Seneca, seperti juga
cicero, juga membantu meneruskan membantu (menstransmit) gagasan-gagasan stoa
kepada pemikir-pemikir kemudian. Ia mengulangi mengemukakan konsepsi tentang
persamaan (equality) semua manusia, namun yang mungkin lebih penting adalah
konsepsi tentang zaman emas dari manusia yang bebas dosa (human innocence),
suatu situasi alamiah prapolitik setelah sifat manusia mengalami kemerosotan
diperlukan adanya institusi-institusi hukum.
Para yuris Romawi jelas
terpengaruh oleh ajaran kaum stoa. Mereka membedakan tiga jenis hukum : jus
naturale, jus gentium, jus civile. Gaius (Intitutes, pertengahan abad
kedua) mengidentifikasikan jus naturale dan jus gentium sebagai
asas-asas hukum universal yang sesuai dengan akal budi alamiah dan ekuitas.
Hukum bukan hanya sekedar ekspresi kemauan dan institusi manusia, melainkan
sesuatu yang dipahami dan dipatuhi secara rasional. Jus gentium adalah inti
rasional dari institusi-institusi hukum yang ada dan bukan merupakan suatu
hukum ideal yang digunakan menguji hukum positif.
Berbeda dengan Gaius,
Ulpianus (170-228) membedakan jus naturale dari jus gentium.
Menurutnya alam juga mengajarkan jus naturale pada semua binatang.
Berdasarkan jus naturale, semua manusia dilahirkan bebas. Perbudakan dan
peraturan-peraturan yang bertalian dengan itu adalah produk dari jus
gentium.
II. Abad Pertengahan.
1. Masa Kegelapan (The ark Ages)
Masa ini dimulai dengan
runtuhnya kekaisaran Romawi akibat serangan bangsa lain yang dianggap
terbelakang yang datng dari utara yaitu yang disebut suku-suku Germania.
Tingkatan peradaban yang tinggi dari bangsa Romawi hanyalah tinggal puing-puing
semata. Karena tiada peninggalan dari suku yang berkuasa, menyebabkan para ahli
masa kinisukar secara pasti menentukan apa yang terjadi di masa gelap ini
2. Masa Scolastik
Pada masa ini terjadi
peralihan, dalam alam pikiran Yunani terdapat empat aliran pikiran yang besar
yaitu Plato, Aristoteles, Stoa, dan Epicarus. Sebagai akibat daripada perbedaan
pendapat pertentangan-pertentengan serta perselisihan di kalangan aliran-aliran
ini telah lahir ajaran baru yang di sebut Ecletisisme. Setelah ini muncul masa
lain yang di kenal dalam dunia filsafat sebagai masa Neo Platonisme dengan
Platinus sebagai tokoh yang terbesar. Filsuf ini yang mula-mula membangun suatu
tata filsafat yang bersifat ke-Tuhanan. Neo-Platonisme ini lahir di Alexandria
sebagai suatu tempat pertemuan antara filsafat Yunani dan Agama Kristen. St
Agustinus disebut-sebut oleh kalangan ahli filsafat sebagai menjembatani alam
pikiran Yunani dan alam pikiran kristen.
III. Zaman renaissance.
Zaman ini ditandai dengan
tidak terikatnya lagi alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan,
manusia menemukan kembali kepribadiannya. Akibat daripada perubahan ini,
terjadi perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan
teknologi yang sangan pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya
dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu-ilmu baru dan lain sebagainya.
Semua itu hanya terjadi oleh karena adanya kebebasan daripara individu untuk
menggunakan akal pikirannya tanpa adanya rasa takut.
Sekitar abad kedua belas filsafat
hukum mendapat dorongan segar ketika studitentang hukum Romawi di hidupkan
kembali. Ada usaha-usaha mempertemukan (mendamaikan) perbedaan-perbedaan di
antara paraYuris Romawi tentangdefinisi-definisi hukum dan klasifikasi
cabang-cabangnya. Secara garis besar para ahli hukum sipil mengikuti tradisi
pemikir hukum alam, jus mengalitrdari justicia meski ia tidak pernah mencapai
taraf keadilan sempurna yang hanya pada Tuhan.
Teori Thomas Aquinas yang
mengintengrasikan unsur-unsur pandangan Stoa, ajaran Kristen, dan filsafat
Aristoteles ke dalam suatu filsafat yang komprehensif merupakan kulminasi dari
hukum. Hukum alam adalah sebuah standar terhadap mana hukum manusia harus
konform. Menurutnya, aturan-aturan hukum adalah peraturan akal budi (ordinances
of reason) yang diundangkan bagi kebaikan umum oleh penguasa yang sah
(legitimate souvereign). Dibedakan empat jenis hukum ; Lex aeterna
(hukum abadi, eternal law), suatu ekspresi peraturan alam semesta secara
rasional dari Tuhan; Lex divina (hukum ilahi, divine law) yang
membimbing manusia menuju tujuansupranaturalnya, hukumTuhan yang diwahyukan
melalui kitab suci; Lex naturalis (hukum alam, natural law) membimbing manusia
menuju tujuan alamiahnya, hasil partisipasi manusia dalam hukum kosmik; Lex
humana (hukum manusia, human law) mengatur hubungan manusia dalam suatu
masyarakat tersebut (sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan).
Jean Bodin
pandangan-pandangannya banyak dipengaruioleh penstudi hukum sipil abad keempat
belas. Dalam “lex six livres de la replubique” Bodin menekankan bahwa
hukum tiada lain daripada perintah dari yang berdaulat (raja) dalam menjalankan
kekuasaannya kedaulatannya. Namunkekuasaan raja tidaklah melampaui hukum alam
yang didekritkan Tuhan. Bodin tidak membenarkan akal yang benarmempertautkan
hukum alam dengan hukum positif atau hukum kebiasaan. Bodinadalah orang pertama
yang mengatakan bahwa kebiasaan memperoleh kekuatan (legal authority)
pada pengesahan oleh penguasa secara tidak eksplisit (diam-diam).
Dalam ‘De Jure Belli
Pacis” (1625) Grotius mengembangkan gagasan tentang suatu “peperangan yang
adil” (jus war), suatu topik yang mempersoalkan masalh sanksi dalamhukum
internasional yang masih didiskusikan oleh H.Kelsen dan para teoritisi abad
ke-20 yang lain. Peperangan yang adil mengprasuposisi (mengandaikan) adanya
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara yang berdaulat,
kaidah hukum yang demikian mempunyai sebagai asal usulnya dalam hukum alam dan
dalam traktat-traktat yang pada gilirannya mengprasuposisi aturan-aturan
(perintah) dari hukum alam.
IV. Zaman Baru.
Filsuf hukum yang paling
penting dalam abad tujuh belas, Thomas Hobbes (1588-1649) memutuskan tradisi
hukum alam yang menimbulkan banyak kontroversi. Ia banyak menggunakan
istilah-istilah “hak alamiah” (law of nature) dan “akal benar” (right
reason). Tetapi yang pertama baginya adalah tiada lain kemerdekaanyang tiap
orang miliki untuk menggunakan kekuasaan (kekuatan) nya sendiri menurut
kehendaknya sendiri, demi untuk preservasi hakikatnya sendiri. Yang kedua
adalah asas-asas kepentingan sendiri (self interest) yang seringkali
diidentifikasikan dengan yang ketiga.
Montesquieu (1689-1755)
telah membawa suatu pendekatan baru dalam mempelajari hukum dan
institusi-institusinya. Menurutnya kaidah kaidah hukum adalah “relasi-relasi
yang perlu timbul dari hakikat hal-hal (benda-benda). Nilai penting yang
istemewa dari karya Montesquieu terletak dalam percobaannya untuk mempelajari
institusi-institusi hukum dengan metode historis-komparatif, menekankan
faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan hukum.
Filsafat hukum Immanuel
Kant (1724-1804) dapat disebut sebagai suatu filsafat tentang keadilan yang di
dalamnya konsep kebebasan memainkan peranan sentral. Kant berusah menemukan
suatu pemahaman sistematik mengenai asas-asas yang melandasi semua kaidah hukum
positif yang akan memungkinkan kita menentukan kesesuian kaidah hukum tersebut
dengan asas-asas moral.kaidah-kaidah hukum dibedakan dari kaidah-kaidah moral
dalam hal mengatur perilaku eksternal terlepas dari motivasi-motivasinya, meski
tidak berarti hakim harus mengabaikan motivasi pelanggar hukum pada saat
menjatuhkan hukuman.
Jeremy Bentham (1748-1832) telah menghasilkan pembaharuan
hukum (legal reform) yang mana pandangan-pandangannya sangay cocok untuk
menangani masalah-masalah yang ditimbulkan oleh revolusi industri di inggris.
Pada saat disiplin-disiplin ilmu sejarah, antropologi, dan etnologi mendapatkan
kedudukan makinpenting pada abad kesembilan belas, berkembanglah
pendekatan-pendekatan yang bersaing tentang pemahaman hukum. Seperti halnya
pandangan Austin yang kemudian menjadi bahan diskusi serius baik di luar maupun
di dalam tradisi-tradisi positivisme dan analitical jurisprudence.
Friedrich Karl Von
Savigny (1779-1861) yang seringkali dianggap sebagai pendiri aliran sejarah
mengungkapkan, hukum seperti juga bahasa timbul secara spontan dalam kesadaran
umum (common consciusness) dari suatu masyarakat yang mewujutkan suatu
realitas organik (organic being). Meski Savigny yakin bahwa dengan
menerima konsesipnya tentang hukum berarti menolak gagasan yang lebih tua
tentang hukum alam, sering dikatakan bahwa konsepsi Savigny hanya suatu jenis
hukum alam yang baru yang berdiri di atas dan menilai (menjadi batu uji) hukum
positif.
V. Zaman Modern.
Rudolf Von Jhering
(1818-1892 ) menolak teori Hegel karena Hegel menganggap hukum sebagi suatu
ekspresi dari kemauan umum (general will) dan tidak mampu melihat bahwa
faktor-faktor utilitaristis dan kepentingan-kepentingan menetukan eksistensi
hukum. Jhering juga menolak anggapan bahwa hukum adalh ekspresi spontan dari
kekuatan bawah sadar (subconscious forcess) seperti yang dikatakan
Savigny. Ia juga menolak Savigny karena Savigny tidak dapatmelihat peranan dari
perjuangan secara sadar untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Namun seperti
juga para Hegelian , Jhering menganut urientasi kultural yang luas. Kontribusi
Jhering adalah keyakinannya (penekanannya bahwa fenomena hukum tidak dapat
dipahami tanpa pemahaman sistematik terhadap tujuan-tujuan yang telah
menimbulkan fenomena hukum), studi tentang tujuan-tujuan itu yang berakal dalam
kehidupan sosial yang tanpa itu tidak akan mungkin ada aturan-aturan hukum.
Terpengaruh oleh
Epistemologi Neo Kantian, Hans Kelsen, seorang eksponen utama positivisme yang
dianggap sebagai tokoh yang paling kontroversial dan mungkin paling
berpengaruh, secara tajam membedakan antara “yang ada” (is) dan “yang
seharusnya ada” (the ought) dan secara konsekuen antara ilmu-ilmu alam
dan disiplin-disiplin, deperti ilmu hukum yang mempelajari fenomena “normatif”.
Gustaf Radbruch
(1878-1949) meski tidak membentuk aliran, mempunyai banyak kesamaan dengan
pandangan Kelsen, dalam pendiriannya yang disebutnya relativisme.Radbruch
memepertahankan bahwa hukum yang merupakan suatu gejala kultural dapat dipahami
hanya dalam hubungan nilai-nilai yang diperjuangkan manusia untuk diwujudkan
melalui hukum.
4. Filsafat Hukum
Dan Ilmui-lmu Hukum
Hans Nawiasky membagi ilmu-ilmu hukum itu atas :
Rechtsnormenlehre, rechtssoziologie
dan rechts philosophie. Sedang Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto
mengemukakan bahwa disiplin hukum itu mencakup :
Ø ilmu-ilmu hukum.
Ø Politik hukum.
Ø filsafat hukum
Ilmu-ilmu hukum terdiri
dari : normwissenchft atau sollenwissenschaft, ilmu pengertian
dan tatsachenwissenschaft atau seinwissenchaft (ilmu tentang
kenyataan). Seinwissenschaft ini dibagi lagi menjadi : sosiologi hukum,
antropologi hukum psikologi hukum, perbandingan huku,dan sejarah hukum. Ada
pula yang membagi ilmu-ilmu yang objeknya hukum di atas :
Ø teori hukum
Ø sosiologi hukum
Ø perbandingan hukum
Ø sejarah hukum
Ø ilmu positif hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar