Founding fathers republik ini telah mencita-citakan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtstaat) bukan kekuasaan (Machtstaat), konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 pun telah menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”[1]. Sebagai konsekuensi dari negara hukum tersebut, maka negara Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi hukum dengan berasaskan pada prinsip dasar dari negara hukum yaitu equality before the law yang artinya adalah setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum.
Sebagai
suatu negara hukum, maka sudah selayaknya juga segala sesuatu yang
dijalankan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat juga harus berada
dalam koridor hukum, artinya
dalam masyarakat mutlak diperlukan hukum untuk mengatur hubungan antara
warga masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH.[2]
mengemukakan bahwa dalam setiap masyarakat harus ada hukum yang
mengatur perilaku-perilaku dan tata kehidupan anggota masyarakat. Untuk
adanya tata hukum dalam masyarakat diperlukan 3 komponen kegiatan yaitu Pembuatan norma-norma hukum, Pelaksana norma-norma hukum tersebut dan Penyelesaian sengketa yang timbul dalam suasana tertib hukum tersebut.
Apabila melihat bahwa di kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini,
maka dapat dilihat bahwa telah banyak peraturan-peraturan yang
dikeluarkan untuk menjaga kelangsungan hidup bernegara dan
bermasyarakat. Dikeluarkannya
peraturan-peraturan tersebut menggambarkan adanya norma-norma hukum
yang diciptakan untuk mengatur hak dan kewajiban dari negara dan
masyarakat.
Pelaksanaan
dari peraturan-peraturan yang mengandung norma-norma hukum tersebut
pada dasarnya merupakan bagian dari penegakan hukum karena penegakan
hukum adalah suatu upaya untuk menjaga agar hukum harus ditaati.
Pelanggaran atau penyimpangan dari hukum yang berlaku akan dikenakan
sanksi sesuai ketentuan yang diatur dalam hukum. Dalam hal inilah hukum
pidana digunakan. Dengan demikian, penegakan hukum dengan menggunakan
perangkat hukum pidana juga merupakan upaya untuk memberantas kejahatan.
SISTEM HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM.
Menurut Lawrence M. Friedman[3], sistem hukum (legal system)
adalah satu kesatuan hukum yang terdiri dari tiga unsur yakni struktur
hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Secara sederhana, struktur
hukum berkaitan
dengan lembaga-lembaga atau institusi-institusi pelaksana hukum atau
dapat dikatakan sebagai aparat penegakan hukum. Dalam hal hukum pidana,
maka lembaga yang bertugas melaksanakannya terwujud dalam suatu sistem
peradilan pidana (criminal justice system), yang pada hakikatnya
merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang terdiri atas
kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan
menjatuhkan putusan serta kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi.[4] Dalam proses penegakan hukum pidana, unsur-unsur tersebut terwujud dalam lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
Substansi hukum
merupakan keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan, dalam
hal substansi hukum pidana di Indonesia, maka induk perundang-undangan
pidana materiil kita adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP),
sedangkan induk perundang-undangan pidana formil (hukum acaranya) adalah
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Unsur ketiga dalam sistem hukum adalah Kultur hukum yakni kebiasaan
atau budaya masyarakat yang menyertai dalam penegakan hukum. Kultur
hukum tersebut berada pada masyarakat maupun pada aparat penegak hukum.
Pada prinsipnya, kultur hukum suatu bangsa sebanding dengan kemajuan
yang dicapai oleh bangsa bersangkutan karena hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan.[5]
Friedman
mengibaratkan sistem hukum itu seperti pabrik, dimana “struktur hukum”
adalah mesin, “substansi hukum” adalah apa yang dihasilkan atau
dikerjakan oleh mesin itu dan “kultur hukum” adalah apa saja atau siapa
saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta
memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
Dalam sebuah sistem hukum, aspek penegakan hukum (law enforcement) merupakan pusat “aktifitas” dalam kehidupan berhukum. Penegakan
Hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan
menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap
pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum,
baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution).
sedang dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan
penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap
peraturan perundang-undangan, khususnya—yang lebih sempit lagi—melalui
proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian,
kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.[6]
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility)
bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan
adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun
demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna
(secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang
dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.[7] Dalam kondisi yang demikian ini menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.[8],
masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu
adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa
menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Dalam pelaksanaan
penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak
identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa
membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat
subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.[9] Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Berdasarkan anggapan tersebut masih menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.,
maka hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu saja,
tetapi harus berisikan berbagai nilai. Radbruch mengatakan bahwa hukum
itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari
hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan
kepastian hukum.[10] Meskipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara terdapat suatu Spannungsverhaltnis
(ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut
masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya,
sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan, untuk
itulah proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum diharapkan mampu
menjembatani nilai-nilai dasar tersebut, tidak salah bila kita
mengingat ahli hukum dari belanda Taverne pernah mengatakan, "Geef
me goede Rechters, goede Rechters Commissarissen, goede Officieren Van
Justitie en goede Politie Ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek
van strafprocesrecht goed bereiken” Berikan saya hakim yang baik,
hakim pengawas yang baik, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka
penegakan hukum akan berjalan walaupun dengan hukum pidana yang buruk.
KEJAKSAAN DAN PERAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENEGAKAN HUKUM.
Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.[11]
Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan,
Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung
jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan
Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan[12], dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan (en een ondelbaar)[13].
Mengacu
pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut
untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
dan pengaruh kekuasaan lainnya.[14]
Dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan berada pada posisi sentral
dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena
Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan
dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana
penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan sebagai
pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat
diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah
menurut Hukum Acara Pidana.
Bahwa
selain dari melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (executive ambtenaar).
Kejaksaan juga memiliki tugas dan wewenang dalam bidang pidana lainnya
yakni melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.[15]
Dalam
bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah[16],
adapun yang dapat dilakukan jaksa dalam bidang ini antara lain
melakukan penegakan hukum; bantuan hukum sebagai jaksa pengacara negara;
melakukan pelayanan hukum kepada masyarakat; memberikan pertimbangan
hukum kepada lembaga pemerintah; dan melakukan tindakan hukum lain.
Sedang dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
pengamanan kebijakan penegakan hukum; pengawasan peredaran barang
cetakan; pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara; pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan
agama; penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.[17]
Dalam UU Kejaksaan tepatnya pada Pasal 1 butir 1 ditentukan bahwa :
”Jaksa
adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan
undang-undang.”
Sedangkan dalam Pasal 1 butir 2 disebutkan :
“Penuntut
Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”
Hal
tersebut juga di atur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang kerap di sebut dengan KUHAP yakni dalam Pasal 1 butir 6
huruf a dan b Jo. Pasal 13 dengan begitu telah jelas bahwa penuntut umum
sudah pasti adalah seorang jaksa, sedangkan jaksa belum tentu seorang
penuntut umum. Bila melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa peran
jaksa selaku penuntut umum dalam penegakan hukum tentu berada dalam
koridor tindakan penuntutan[18].
Adapun dalam rangka persiapan tindakan penuntutan atau kerap dikenal dengan tahap Pra Penuntutan, dapat diperinci mengenai tugas dan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut antara lain :
a. Berdasarkan
Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan dari penyidik
atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai
penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana yang biasa
disebut dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan).
b. Berdasarkan
pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai melakukan
penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara pada
penuntut umum. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal
138 ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan meneliti berkas
perkara tersebut yakni :
1. Mempelajari
adalah apakah tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka telah
memenuhi unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang
diperiksa adalah materi perkaranya.
2. Meneliti
adalah apakah semua persyaratan formal telah dipenuhi oleh penyidik
dalam membuat berkas perkara, yang antara lain perihal identitas
tersangka, locus dan tempus tindak pidana serta kelengkapan administrasi semua tindakan yang dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan.
c. Mengadakan
Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b KUHAP dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1)
dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
kurang lengkap (P-18), penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara
itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi (P-19). Dalam
hal ini penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sebagaimana
petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP.
d. Bila
berkas perkara telah dilengkapi sebagaimana petunjuk, maka menurut
ketentuan Pasal 139 KUHAP, penuntut umum segera menentukan sikap apakah
suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak
untuk dilimpahkan ke pengadilan (P-21).
e. Mengadakan
tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut
umum sesuai Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal tersebut
yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah antara lain meneliti
identitas tersangka, barang bukti dengan melihat secara tegas batas
wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan.
f. Berdasarkan
Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum secepatnya
membuat surat dakwaan untuk segera melimpahkan perkara tersebut ke
pengadilan untuk diadili.
g. Berdasarkan
Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP, penuntut umum menerima penyerahan
tanggung jawab atas berkas perkara, tersangka serta barang bukti. Bahwa
proses serah terima tanggung jawab tersangka disini sering disebut Tahap
2, dimana di dalamnya penuntut umum melakukan pemeriksaan terhadap
tersangka baik identitas maupun tindak pidana yang dilakukan oleh
tersangka, dapat melakukan penahanan/penahanan lanjutan terhadap
tesangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2) KUHAP dan dapat pula melakukan
penangguhan penahanan serta dapat mencabutnya kembali.[19]
Sedangkan tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam poses penuntutan antara lain adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan
Pasal 143 ayat (1) KUHAP penuntut umum melimpahkan perkara ke
Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara
tersebut disertai dengan surat dakwaan[20].
b. Melakukan pembuktian[21]
atas surat dakwaan yang dibuat, yakni dengan alat bukti yang sah
sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dalam hal itu penuntut umum
berkewajiban menghadirkan terdakwa berikut saksi-saksi, ahli serta
barang bukti di depan persidangan untuk dilakukan pemeriksaan.
c. Berdasarkan
Pasal 182 ayat (1) huruf a, setelah pemeriksaan dinyatakan selesai
penuntut umum Mengajukan tuntutan pidana, meskipun sebenarnya yang lebih
tepat yang diajukan adalah tuntutan[22] (requisitoir),karena tidak menutup peluang selain dari tuntutan pidana atas diri terdakwa, penuntut umum dapat menuntut bebas diri terdakwa.
d. Bahwa
bila atas tuntutan terhadap terdakwa dan berdasarkan alat bukti yang
sah majelis hakim berkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya[23],
maka majelis hakim menjatuhkan putusan, dimana bila terdakwa dan
penuntut umum kemudian menerima, putusan tersebut kemudian berkekuatan
hukum tetap (inkracht), maka berdasarkan Pasal 270 KUHAP[24], jaksa melaksanakan putusan (eksekusi) tersebut.
e. Terkait
poin d tersebut di atas, apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak
menerima putusan tersebut maka terdakwa maupun penuntut umum dapat
melakukan upaya hukum[25], upaya hukum banding berdasarkan Pasal 233 KUHAP, dan/atau upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP.
f. Bahwa
selain hal tersebut, berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, penuntut
umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan dengan mengelarkan
SKPP (Surat Ketetapan Peghentian Penuntutan) dikarenakan alasan bahwa
perkara tersebut tidak terdapat cukup bukti, peristiwanya bukan
merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum[26],
SKPP tersebut diberitahukan kepada tersangka dan apabila ditahan
tersangka harus segera dikeluarkan. Turunan surat tersebut wajib
disampaikan kepada tersangka atau keluarganya, penasehat hukum, pejabat
RUTAN, penyidik dan hakim. Bila kemudian ditemukan alasan baru, penuntut
umum dapat menuntut tersangka, alasan baru tersebut adalah novum (bukti baru).
Bahwa
selain tindakan-tindakan tersebut, Jaksa Agung secara khusus mempunyai
tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan
hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; mengajukan kasasi demi
kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata,
dan tata usaha negara.[27]
Bila
melihat uraian yang telah digambarkan di atas, semua tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum baik dalam proses pra penuntutan
maupun penuntutan sesungguhnya dilakukan atas dasar keadilan dan
kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[28],
Penegakan hukum demi keadilan tersebut tentu juga mencakup adil bagi
terdakwa, adil bagi masyarakat yang terkena dampak akibat perbuatan
terdakwa dan adil di mata hukum, dengan begitu dengan sendirinya apa
yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam rangka penegakan hukum
adalah untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian hukum, menjembatani
rasa keadilan dan kemanfaatan hukum bagi para pencari keadilan.
[1]
Vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dimana sebelum dilakukan amandemen
terhadap UUD 1945, konstitusi kita memiliki Penjelasan dimana disana
disebutkan “Negara
indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (machtsstaat)”, namun setelah amandemen dilakukan
Penjelasan tersebut ditiadakan dan bukan lagi menjadi bagian dari
konstitusi.
[3] Lawrence M. Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975.
[4] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001, hal. 28.
[5] Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, Hal. 27.
[6] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. “Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia”,
Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam
rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari
2006.
[7] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat, Suatu Sumbangan Pemikiran, http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=3
[8] ibid
[9] Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, (Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
[10] Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 21.
[13] Vide Pasal 2 ayat (3) UU Kejaksaan.
[18] Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum
Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim
di sidang pengadilan (vide Pasal 1 butir 7 KUHAP Jo. Pasal 1 butir 3 UU
Kejaksaan).
[19] Vide Pasal 31 ayat (1) dan (2) KUHAP.
[20]
Surat dakwaan berisi tentang identitas terdakwa secara lengkap dan
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebut tempat dan waktu tindak pidana
tersebut dilakukan. (vide Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP).
Surat dakwaan sering juga disebut sebagai mahkota jaksa, karena surat
dakwaan adalah dasar dari pemeriksaan di persidangan, terbukti atau
tidak terbukti tuntutan JPU, bebas atau lepasnya terdakwa dari tuntutan
semua tergantung dari konstruksi dakwaan yang dibuat.
[21]
Meskipun dalam KUHAP tidak dinyatakan demikian namun pembuktian atas
kesalahan terdakwa menjadi tanggung jawab penuntut umum karena penuntut
umum-lah yang mebuat surat dakwaan, dimana dalam Pasal 66 KUHAP
disebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian.
[22] Surat Tuntutan (requisitoir)
dapat dikatakan sebagai kesimpulan atas pemeriksaan perkara yang
diajukannya dalam surat dakwaan, yakni hasil dari penilaian, penelaahan
yang menghasilkan keyakinan atas perkara tersebut..
[23] Vide Pasal 183 KUHAP.
[24] Lihat juga Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP dan Pasal 1 butir 1 UU Kejaksaan.
[25]
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau bandig atau kasasi atau
hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (vide Pasal 1
butir 12 KUHAP). Bahwa dalam perkembangannya saat ini yang dapat
dikatakan sudah menjadi yurisprudensi, terhadap putusan bebas pun jaksa
penuntut umum dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
[26] Adapun yang dimaksud dengan penuntutan dihentikan dengan alasan hukum yakni : perkara tersebut nebis in idem, artinya
perkara tersebut sudah pernah diputus oleh hakim; tersangka/terdakwa
meninggal dunia; perkara tersebut daluwarsa; mempertangguhkan
penuntutan untuk sementara waktu karena ada perselisihan tentang
hukum yang harus diputuskan terlebih dahulu oleh pengadilan lain,
dalam hal ini penuntutan hanya dihentikan sementara waktu. (vide Pasal
76, 77, 78, dan Pasal 81 KUHP).
[27] Vide Pasal 35 UU Kejaksaan.
[28]
Pasal 8 ayat (3) UU Kejaksaan menyatakan Demi keadilan dan kebenaran
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan
keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar