I. PENDAHULUAN
Korupsi
!!! Pejabat di Instansi ini korupsi !!! Proyek ini sarat dengan korupsi
!!! Barang-barang mewah itu hasil dari korupsi !!!
Kalimat-kalimat
di atas mungkin sudah sering kita peroleh, baik dari media masa maupun
dari media audio visual yang sehari-hari hadir di hadapan kita. Sehingga
frasa ”korupsi” sudah seperti hal yang biasa saja di telinga kita,
sedangkan sesungguhnya
korupsi merupakan suatu hal luar biasa dan pada saat ini, korupsi sudah menjadi masalah global antar negara yang tergolong kejahatan transnasional. Bahkan atas implikasi buruk multidimensi terhadap kerugian ekonomi dan keuangan negara yang besar, maka korupsi digolongkan sebagai extra ordinary crime sehingga pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas agenda pemerintahan hampir semua negara di dunia untuk ditanggulangi secara serius.
korupsi merupakan suatu hal luar biasa dan pada saat ini, korupsi sudah menjadi masalah global antar negara yang tergolong kejahatan transnasional. Bahkan atas implikasi buruk multidimensi terhadap kerugian ekonomi dan keuangan negara yang besar, maka korupsi digolongkan sebagai extra ordinary crime sehingga pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas agenda pemerintahan hampir semua negara di dunia untuk ditanggulangi secara serius.
Tranparancy International, sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional yang concern terhadap penanganan kasus korupsi memberikan sebuah report bahwa pada
tahun 1999 Indonesia tergolong negara terkorup dari 41 negara yang
diamati, yang diamati menyusul tahun 1996-2000, Indonesia tidak pernah
beranjak dari dari kategori lima besar negara terkorupsi di dunia.
Sedangkan menurut Political and Economic Risk Colsultacy (PERC)
sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang popular di Asia, dalam kurun
waktu tahun 2002 – 2004, Indonesia merupakan negara yang terkorup di
benua Asia.[1] Tak pelak lagi Indonesia mendapatkan stigma sebagai negara yang termasuk ‘jagonya’ korupsi, dan menjadi surga para koruptor.
Dalam skala internasional, korupsi di lingkungan pejabat pemerintah juga suatu masalah akut
di sebagian terbesar negara-negara Asia, Amerika Latin dan Afrika.
Meluasnya korupsi ini timbul karena transisi dari suatu masyarakat
tradisionil yang mengalami kemajuan secara tidak serempak dalam hal
mengubah loyalitas dari komunitas lama ke loyalitas pada bangsa.[2] Selain itu, korupsi merupakan suatu hal yang inheren dalam setiap bentuk pemerintah yang bagaimanapun.[3] Kasus korupsi pertama dan terbesar di Indonesia adalah yang terjadi di tubuh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)
sebuah persekutuan dagang Hindia Belanda yang memonopoli perdagangan di
Indonesia pada awal masa penjajahan Belanda di Indonesia. Sebuah
perusahaan yang dapat mengalahkan banyak kerajaan di Nusantara, ternyata
hancur dari dalam karena korupsi yang dilakukan oleh para
pejabat-pejabatnya. Dari hal ini dapat dilihat bahwa korupsi dapat
menghancurkan banyak negara yang dipersatukan dan dipimpin VOC. Maka
tidak aneh apabila korupsi ini dapat pula menghancurkan negara Indonesia
jika tidak cepat segera ditanggulangi.
Dilihat dari gambaran di atas, maka penyakit korupsi di Indonesia dalam
suatu lembaga pemerintah, walaupun itu pemerintah Belanda, ternyata
sudah ada beberapa abad sebelumnya. Maka, dapat juga dimengerti kalau
penyakit korupsi ini pun seperti tumbuh subur di Indonesia, terutama
pada rejim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, dimana korupsi ini
seperti mendapat lahan yang tepat, dan akhirnya secara ironis dianggap
sebagai suatu hal yang wajar dalam masyarakat Indonesia. Hal di atas
senada dengan yang disampaikan oleh Soedarso, yang menyatakan bahwa
korupsi di Indonesia besar kemungkinan timbul dari kultur Indonesia
sendiri, dimana perbuatan korupsi ini sejak dulu secara diam-diam
ditolerir oleh masyarakat.[4]
Oleh karena itu, patut dicermati masalah praktek korupsi yang ada di
Indonesia, untuk selanjutnya dilakukan berbagai upaya untuk
penanggulangannya.
II. Pengertian “Korupsi” dan Dampak Negatifnya
Selama
ini, kosa kata ”korupsi” sudah sangat populer di Indonesia. Hampir
semua orang di negeri ini, baik dari rakyat di pedalaman, mahasiswa,
pegawai negeri, pihak swasta, aparat penegak hukum sampai pejabat negara
pernah mendengar kata ”korupsi”.
Asal kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti dalam bahasa Inggris : Corruption (corrupt), dalam Bahasa Belanda : corruptie, yang kemudian turun ke bahasa Indonesia menjadi “korupsi”.[5]
Secara
harafiah, arti dari ”korupsi” adalah ialah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan
dari kesucian, dan sebagainya.[6]
Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian “korupsi” adalah
“Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya.”[7]
Adapun
dalam kriminologi, delik korupsi dapat diartikan suatu delik/perbuatan
tindak pidana yang mewujudkan perbuatan melawan hukum oleh seseorang
pejabat publik atau kekuasaan yang secara resmi diberikan kepadanya atau
wewenang resminya atau kemungkinan yang menyertainya untuk tujuan
memuaskan kepentingan pribadinya atau kepentingan pihak ketiga.
Dengan
berbagai pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa korupsi
mengandung pengertian yang sangat luas, yang pada intinya adalah suatu
hal buruk yang bertujuan untuk memenuhi kepetingan tertentu dan
bertentangan dengan norma yang berlaku.
Pengertian
yuridis korupsi secara konkrit sebenarnya telah dimuat secara tegas
untuk pertama kalinnya dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi
dalam Undang Undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang berasal dari Wet Boek Van Strafrecht
(Wvs) yaitu KUHP Negeri Belanda pada saat menjajah negara kita.
Selanjutnya rumusan-rumusan delik korupsi tersebut dimuat kembali dan
dikembangkan dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dipertegas lagi di
dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU-PTPK). Sampai saat ini Undang Undang inilah yang berlaku dan
dijadikan sebagai pedoman dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di
negeri ini.
Bahwa suatu perbuatan telah dijadikan sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana dalam suatu perundang-undangan (kriminalisasi)
sehingga perbuatan tersebut diancam dengan pidana, menandakan bahwa
perbuatan tersebut merupakan hal yang menimbulkan akibat yang sangat
merugikan, tidak saja bagi individu tertentu, tetapi juga masyarakat
bahkan terhadap negara. Demikian juga dengan korupsi. Perbuatan korupsi
telah menimbulkan berbagai dampak negatif antara lain sebagai berikut :
1. Korupsi
menggerogoti keuangan negara, sehingga pertumbuhan perekonomian negara
menuju kesejahteraan masyarakat menjadi terhambat.
2. Korupsi
menurunkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah yang selanjutnya
berimplikasi pada merosotnya kewibawaan pemerintah di mata rakyat.
3. Korupsi
menurunkan disiplin nasional, karena dengan adanya praktek kebiasaan
korupsi (suap), segala sesuatu yang telah ditentukan dengan prosedur
menjadi dapat disimpangi.
4. Korupsi menyebabkan tidak meratanya tingkat potensi ekonomi dari masyarakat sehingga masyarakat di lapisan bawah (grass root) akan terpicu untuk memiliki kecemburuan sosial terhadap masyarakat kelas atas.
5. Korupsi
akan membawa masyarakat untuk tidak percaya pada hukum karena segala
sesuatu akan dapat diselesaikan dengan uang pelancar (suap).
6. Korupsi
akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, karena masing-masing
elemen bangsa akan saling curiga jika terdapat indikasi adanya
penyimpangan dari keuangan negara.
Melihat
dahsyatnya dampak negatif akibat perbuatan korupsi tersebut,
diperlakukan tekad bulat dari Pemerintah Indonesia untuk dapat
memberantas korupsi di negeri ini. Tekad bulat untuk memberantas tindak
pidana korupsi tersebut juga harus dipayungi secara yuridis yaitu dengan
dikeluarkannya Undang Undang sebagai dasar pemberantasan tindak pidana
korupsi.
III. Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001
(UU-PTPK) sebagai Perangkat Perundang-undangan Pidana Dalam Rangka
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana
diterangkan di atas bahwa dari sisi perundang-undangan, maka Pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU-PTPK). Dalam UU-PTPK ini, tindak pidana korupsi diancam dengan
pidana penjara dan pidana denda yang sangat tinggi, bahkan diantaranya
diancam dengan pidana mati dan juga ada yang disertai dengan minimum
khusus. Bahkan UU-PTPK ini merupakan UU paling keras di Asia Tenggara
dalam memberantas korupsi.[8]
Dalam UU-PTPK tersebut tercantum 30 macam tindak pidana korupsi yang dapat dibagi dalam 8 kelompk, yaitu :
a. Korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara :
1) Pasal 2 ayat (1) :
“Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun atau paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- dan paling banyak Rp.1.000.000.000,-”
2) Pasal 3 :
“Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri-sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukannya yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara seumur hidup atau
paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,- dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-.
b. Korupsi yang terkait dengan Suap-Menyuap.
1) Pasal 5 ayat (1) huruf a,
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima
puluh juta rupiah) setiap orang yang Memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negara atau penyelenggara negara dengan maksud supaya
pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ;
2) Pasal 5 ayat (1) huruf b,
3) Pasal 5 ayat (2),
4) Pasal 6 ayat (1) huruf a,
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili ;
5) Pasal 6 ayat (1) huruf b,
6) Pasal 6 ayat (2),
7) Pasal 11,
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui dan patut diduga, bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
8) Pasal 12 huruf a,
9) Pasal 12 huruf b,
10) Pasal 12 huruf c,
11) Pasal 12 huruf d.
12) Pasal 13,
c. Korupsi yang terkait dengan Penggelapan dalam Jabatan.
1) Pasal 8,
2) Pasal 9,
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima
puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau
daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
3) Pasal 10 huruf a,
4) Pasal 10 huruf b
5) Pasal 10 huruf c.
d. Korupsi yang terkait dengan Perbuatan Pemerasan.
1) Pasal 12 huruf e,
Dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan pidana denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri ;
2) Pasal 12 huruf f ,
3) Pasal 12 huruf g.
e. Korupsi yang terkait dengan Perbuatan Curang.
1) Pasal 7 ayat (1) huruf a,
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh
juta rupiah), Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat
bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang ;
2) Pasal 7 ayat (1) huruf b,
3) Pasal 7 ayat (1) huruf c,
4) Pasal 7 ayat (1) huruf d,
5) Pasal 7 ayat (2),
6) Pasal 12 huruf h.
f. Korupsi yang terkait dengan Gratifikasi.
Pasal 12 B jo. Pasal 12 C.
Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebegai
berikut :
a. Yang
nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi.
b. Yang
nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum
g. Korupsi yang terkait dengan Benturan kepentingan dalam pengadaan.
Pasal 12 huruf i.
Pegawai
negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan
yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Di
samping itu, dalam UU-PTPK ini terdapat pula tindak pidana yang
berkaitan dengan korupsi, artinya tindak pidana itu sendiri bukanlah
merupakan perbuatan korupsi namun tindak pidana itu ”bersentuhan”
langsung dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana-tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut :
1). Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21) ;
2). Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal 22 jo. Pasal 28);
3). Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka pelaku korupsi (Pasal 22 jo. Pasal 29);
4). Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 35);
5). Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 36) ;
6). Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo. Pasal 31).
Dengan
demikan, yang disebut sebagai tindak pidana korupsi tidaklah hanya
perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan negara, namun juga
perbuatan-perbuatan lain seperti penyuapan, penggelapan, pemerasan
seperti yang tercantum dalam UU-PTPK tersebut di atas.
IV. PENUTUP
Dalam upayanya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, Pemerintah Republik Indonesia memang telah menerbitkan Undang Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU-PTPK) yang mempunyai ancaman
pidana sangat tinggi.
Namun
peraturan atau ancaman pidana yang sangat tinggi dalam UU tersebut
hanya merupakan suatu prevensi tidak langsung yaitu agar orang-orang
takut untuk melakukan korupsi atau terpidana korupsi jera untuk
mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Akan tetapi, yang terjadi
kejahatan korupsi sendiri tetap berlangsung dengan “lancar” dan justru
bermunculan dengan modus yang semakin canggih.
Dalam
hal inilah, sebagai perangkat hukum pidana, UU-PTPK ini mempunyai
kelemahan dalam menanggulangi korupsi sebagai suatu kejahatan. Sebagai
suatu perundang-undangan pidana yang bersifat normatif sebagaimana
perundangan pidana yang lain, maka UU-PTPK hanyalah merupakan suatu
aturan tentang “siapa yang melakukan korupsi, perbuatan apa yang
termasuk korupsi dan sanksi apa yang harus dijatuhkan terhadap pelaku
korupsi”. Aturan tentang “mengapa korupsi itu terjadi dan bagaimana
menghilangkan sebab korupsi” tidaklah diatur dalam UU-PTPK. Hal tersebut
sebagaimana perundangan pidana yang lain, bahwa penggunaan hukum pidana
(dalam hal ini UU-PTPK) hanyalah merupakan penanggulangan suatu gejala (kurieren am symptom)
dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Oleh
karena itu, UU-PTPK hanyalah merupakan “pengobatan simptomatik” dan
bukan “pengobatan kausatif” terhadap kejahatan korupsi.
Jadi, penanggulangan kejahatan korupsi tidaklah terpaku pada penggunaan UU-PTPK saja, karena hal tersebut hanya akan bersifat fragmentair, parsial dan represif. Pemberantasan korupsi harusnya diarahkan pada upaya meniadakan (mengeliminir) dan memperbaiki keseluruhan kasus dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan korupsi.
Penanggulangan
terhadap masalah korupsi ini, sebagaimana penanggulangan terhadap
kejahatan yang membahayakan negara lainnya, seharusnya memang dilakukan
secara integral dan komprehensif. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH
menyatakan bahwa strategi dasar penanggulangan kejahatan (the basic crime prevention strategy), seyogyanya diarahkan pada upaya meniadakan (mengeliminir)
atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kausa dan kondisi yang
menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan (korupsi).[9]
Strategi
integral yang demikian diperlukan karena kausa dan kondisi yang dapat
menjadi peluang timbulnya korupsi sangat kompleks, sehingga masalah
korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain masalah
sikap moral, masalah sikap hidup dan budaya social, masalah lingkungan
social dan kesenjangan social ekonomi, masalah system/budaya politik,
masalah lemahnya birokrasi (termasuk system pengawasan) di bidang
keuangan dan pelayanan public. Jadi kausa dan kondisi yang bersifat
kriminogen untuk timbulnya korupsi bisa terjadi di bidang moral, social,
ekonomi, politik budaya, birokrasi administrasi dan sebagainya. Dalam
hal inilah peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi mempunyai
nilai yang sangat penting.
[2] Mulyana W Kusumah, Aneka Permasalahn Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, Alumni, Bandung, 1981, hal 78.
[3] J.E. Sahetapy, Viktimologi, Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, hal 27.
[4] Soedarso, Korupsi di Indonesia, Bhatara, Jakarta, 1996, hal 14.
[5] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, 2002, hal. 4.
[6] Fockema Andreae, Kamus Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983.
[7] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976.
[8] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002., hal. 69.
[9] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 130.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar