selamat datang di website resmi fakultas hukum universitas darussalam ambon kelas c masohi

selamat datang di website resmi fakultas hukum universitas darussalam ambon kampus c masohi

Selasa, 26 Juli 2011

TEORI HUKUM POSITIVISTIK DAN TEORI HUKUM SOSIOLOGIS DALAM PENCATURAN PERKEMBANGAN TEORI HUKUM.


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum yang mengatur masyarakat tidak mengalir secara langsung dari hukum dasar normative. Prinsip-prinsip abstrak itu harus diwujudkan dalam suatu tata hukum tertentu supaya berlaku.  Untuk itu dibutuhkan pengolahan hukum oleh pembuat hukum (yuris), dan penetapan hukum oleh orang-orang yang berwenang.
Dalam menentukan apa yang harus menjadi peraturan hukum pertama-tama harus diperhatikan konteks social, yakni seluruh situasi sosial ekonomi masyarakat dalam zaman tertentu.  Situasi konkret suatu masyarakat terjalin erat dengan sejarah dan jiwa bangsa tertentu. Dalam perkembangan kehidupan suatu bangsa dengan sendirinya timbullah suatu rasa hukum tertentu.  Itu berarti bahwa dalam kehidupan bersama beberapa prinsip akan diberikan tekanan, sedangkan prinsip-prinsip lain kurang ditonjolkan.

Dengan demikian maka hukum yang dibentuk dalam suatu masyarakat tertentu akan memperlihatkan ciri-ciri khas, sesuai dengan situasi sosial ekonomi dan jiwa bangsa. Pada zaman sekarang ini timbul keyakinan bahwa salah satu syarat dalam pembentukan suatu perundang-undangan menjadi sah apabila ada persetujuan dari semua warga negara. Kalau persetujuan itu tidak ada, maka  pembentukan hukum tidak berlainan dari tindakan kekuasaan. Alasannya : bahwa semua manusia memiliki akal budi untuk memikirkan manakah hukum yang tepat bagi hidup bersama mereka ;. Dengan dimilikinya akal budi dibukalah kemungkinan untuk berunding bersama tentang peraturan yang tepat bagi bersama itu
Prinsip etika dan kebijaksanaan dalam bidang perundang-undangan harus dikejar dengan berfikir dan berunding bersama tentang prinsip prinsip keadilan dan tindakan hukum. Mutlak perlu dalam dialog ini untuk bertolak dari rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi sikap yang dituntut disini menjadi nampak dalam toleransi kejujuran.
Hukum yang diperkaitkan dengan masyarakat luas yang menjadi latar belakangnya dapat pula dilihat sebagai suatu pernyataan kehendak dari para anggota masyarakat.  Hukum itu tidak akan terlepas dari gagasan-gagasan pendapat-pendapat serta kemauan-kemauan yang hidup di kalangan anggota masyarakat.
Menurut Savigny bahwa antara hukum dan keaslian serta watak rakyat terdapat suatu pertalian yang organis. Tali yang mempersatukan kedua sehingga menjadi satu kesatuan adalah adanya kepercayaan yang sama dari seluruh rakyat serta sentiment yang sama pula tentang apa yang merupakan keharusan yang kesemuanya itu menolak adanya gagasan yang bersifat aksidental dan arbiter.
Berdasar uraian tersebut diatas bagaimana teori Hukum Positivistik dan Teori Hukum Sosiologis  dalam percaturan perkembangan teori hukum ?
B. Pertanyaan Masalah
Bagaimana hasilnya jika Teori hukum Positivstik dan Hukum Sosiologis digarap atau dipelakukan sebagai suatu bidang tersendiri di dalam masyarakat ?

TEORI HUKUM POSIVISTIK
1.  Pendekatan hukum positivistik, normatif, legalistik, formalistik.
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan norma yang harus dipahami dengan menganalisa teks atau bunyi undang-undang atau peraturan yang tertulis. Dalam rangka mempelajari teks-teks normatif tersebut maka yang menjadi sangat penting untuk menggunakan logika hukum (legal reasoning) yang dibangun atas dasar asas-asas, dogma-dogma, doktrin-doktrin, dan prinsip-prinsip hukum terutama yang berlaku secara universal dalam hukum (modern).
Dalam kenyataannya pendekatan ini memiliki kelemahan atau kekurangan karena tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang tertulis, seperti ketika  prinsip hukum undang-undang menyatakan bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminatif atau equality before the law, hukum tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya terdapat  kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi.


2.  Neo positivisem :
Teori weber: Tingkat rasionalitas sebuah masyrakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu. Ia membagi teroinya kepada tiga yaitu :
-          substantif irasional;
-          substansif dengan sedikit kandungan rasional ;
-          rasional penuh.
Tipe pertama melekat pada masyarakt yang masih dikuasai oleh masyarakat yang masih dikuasai alam pikiran mitis  yang serba alamiah dan naluriah ; Tipe kedua dimiliki oleh masyarakat tradisi yang bertopang pada adat dan kebiasaan tradisional. Sedangkan tipe ketiga, menjadi ciri masyarakat maju dan modern sebagaimana di dunia barat  saat itu
Masing-masing tingkatan tersebut memberi ciri pada hukumnya. Pada tingkat substantive irasional  hukum tampil dalam wujud yang informal irasional. Hukum hanya berupa intuisi tanpa aturan. Pada tipe yang substantive dengan sedikit kandungan rasional hukum mewajah dalam bentuk informal rasional berupa aturan hukum yang selalu informal. Pada tipe yang formal rasional hukum sudah mengambil dalam bentuk aturan – aturan rinci, khusus dan terkodifikasi.
Rheinstein, menurunkan tipologi Weber secara ringkas sebagai berikut :
  1. Irasional : yaitu tanpa dipandu oleh aturan – turan hukum ;
  2. Rasional :  dipandu oleh aturan-aturan umum;
  3. formal  : secara ekstrinsik  yaitu dengan menganggap bahwa suatu kepentingan itu berasal dari kejadian-kejadian eksternal yang dapat diamati oleh indera.
Secara logis : yaitu dengan mengekspresikan / mengungkapkan aturan-aturan dengan penggunaan konsep-konsep abstrak yang diciptakan oleh pemikiran hukum itu sendiri dan difahami sebagaimana suatu sistem yang lengkap.
3. Positivisme Hukum
  1. Berkembang pesat pada abad IX sejalan denga tumbuhnya konsep negara-negara modern ;
  2. sistem trias politika yang  membagi kekuasaan negara menjadi tiga dan kekuasaan legislative memproduksi hukum sebanyak mungkin ;
  3. gerakan liberalisme yang betujuan untuk melindungi kepentingan individu melalui hukum tertulis ;
  4. munculnya tokoh pemikir gerakan positivisme seperti.

H.L.A Hart
1. Undang-undang adalah perintah manusia ;
2. tidak perlu ada hubungan hukum dengan moral ;
3. sistem hukum adalah logis dan tertutup ;
4. penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan ;
5. Esensi hukum terletak pada adanya penggunaan paksaan.

Paham positivisme di Indonesia berkembang pesat dikarenakan :
1.       pendidikan hukum di Indonesia lebih mengarahkan kepada tujuan untuk menciptakan sarjana hukum yang profesional (keahlian hukum yang monolitik). S1 mencetak tukang untuk menerapkan, bagaimana menciptakan SH yang handal dalam profesi hukum, seolah-olah di dominasi Undang-undang, normatik, sehngga realitas hukum dianggap relatif tidak penting;  Civil law : deduktif : dibuat aturan yang umum yang dibuat untuk menyelesaikan kasus, jadi hukumnya sama meski kebutuhan masyarakat berbeda-beda dan asumsinya UU pasti sudah bagus ;
1.       Pendidikan di indonesia mewarisi tradisi continental law yang mengikuti civil law hukum adalah sesuatu yang sudah ada dalam UU atau peraturan tertulis. Hal tidak lepas dari sistem hukum  Belanda yang dibawa kolonial masuk ke Indonesia dengan prinsip konkordasi. Asumsinya undang-undang tidak boleh diprotes, UU dianggap sudah baik karena pembentuk hukum sudah merancang dengan sungguh-sungguh.
-        civil law cenderung empiris/induktifnya tidak digunakan ;
-        Lobus de droit :hakim adalah mulut undang-undang karena hakim dalam menentukan putusan sudah  ditentukan oleh undang-undang, sehinga penemuan-penemuan hukum menjadi miskin.
  1. Pendidikan hukum di Indonesia lebih banyak mengajarkan pada filosofis hukum tapi kurang mengajarkan pada patologi hukum. Kebanyakan yang diajarkan hanya asas-asas dan norma hukum substantive, tetapi ilmu penyakit hukumnya tidak diajarkan, sehingga tidak terbiasa menganalisis penyimpangan-penyimpangan dalam bekerjanya hukum, padahal hal itu menjadi penting untuk memberikan terapi bagi penyakit hukum.

PERKEMBANGAN KE ARAH ILMU HUKUM SOSIOLOGIS
Memasuki abad XX mulai muncul pemikiran untuk memberikan penjelasan lebih baik terhadap hakekat hukum dan tempat hukum dalam masyarakat. Ketidak puasaan terhadap fositifisme kian berkembang karena faham tersebut acapkali tidak sesuai dengan keadilan dan kebenaran sehingga muncul gerakan-gerakan untuk melawan positifisme. Hal ini tampak dari fenomena yang disebut :
1.       Donald Black  -à the age of sociology  ; 2. Morton White à  the revolt againts formalisme ; 3. Alan Hunt à The sociological movement in law.
Keadilan kadang sulit terungkap, jika berhadapan dengan formalisme, dimana hakim dalam suatu kasus kadang sulit untuk membuktikan meskipun yakin kalau si pelaku bersalah.
Menurut Gustav Radbruh : hukum harus mengandung tiga nilai idealitas (1). kepastian à  yuridis ; (2). keadilan  -à Filosofis ; (3). Kemanfaatan à Sosiologis.
Menurut Satjipto Rahrdjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
  1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum ;
  2. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum ;
  3. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum à sebagai tetsachenwssenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu sama dengan law as it is in society, namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.
Masukan pemikiran sosiologi hukum. Analitical Yurisfrudensi à oleh John Austin :Melahirkan kodifikasi yang bersifat tertutup, dilanjutkan Hans Kelsen dengan teori Stuffen Baw à Grundnorm
Hukum adalah bangunan norma-norma yang bersifat hierarkhis, (lex sueror derogat lege inferior, lex specialis derogat lege generalis) melahirkan faham positfisme/formalisme.
Historical Yurisfrudensi : Von Savigny : Hukum adalah cermin dari jiwa rakyatnya maka muncul istilah sulis supreme juristex, dan hukum harus dilihat dari sosial budaya masyarakat ; kekuasaan membentuk hukum ada pada rakyat maka hukum itu ditemukan seiring dengan perkembangan mayarakat (dari hukum sebagai sistem masyarakat sosial masyarakatnya)..
Gerakan melawan formalisme, di inggris tokohnya adalah Jeremy Bentham dll. Sosiologisce yurisfrudence (Roscoe Pound): -ilmu hukum yang sosiologi.- akan terjadi pembangkangan sosial kalau hukum dibuat tidak berdasar pada kehidupan sosial masyarakatnya ; Pada perkembangannya aliran ini timbulah aliran realisme hukum (di Amerika). Legal realisme (Amerika) apa yang ada dalam kenyatan

KAIDAH SOSIAL DAN HUKUM SEBAGAI SOSIAL KONTROL
Sosial control merupakan aspek normatif dalam kehidupan sosial; kontrol sosial bertujuan agar prilaku masyarakat antar apa yang seharusnya nilai ideal yang dirumuskan dalam norma Donald Black : (Social Control is Quantitatif) à variable kuantitatif, tidak konstan dan tidak ajeg). He quantity of law varios intime and place : Kuantity hukum bervariasi sesuai waktu dan tempat ;
Contoh : Pasal 534 Pasal tersebut mempelihatkan kontrasepsi di depan umum dipidana, terjadi tarik menarik antara hukum dan kontrol sosial. Hukum menguat ketika kontrol sosial lain melemah. Hukum melemah ketika kontrol sosial menguat ;

OBJEK SOSIOLOGI HUKUM
Beroperasinya hukum di masyarakat (ius operatum) atau law in ation dan pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat ; dari segi statiknya (Struktur), kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan sosal, dari segi dinamiknya (proses sosial), interaksi dan perubahan sosial.
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto : mempelajari hukum sebagai alat pengendali sosial, mempelajari hukum sebagai kaidah sosial, kaidah moral yang dilembagakan oleh pemerintah, stratifikasi sosial dan hukum, hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto : hukum dan struktur sosial masyarakat. Hukum merupakan sosial Value masyarakat ; hukum, kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya ; stratifikas sosial dan hukum ; hukum dan nilai sosial budaya ; hukum dan kekerasan ; kepastian hukum dan keadilan hukum. hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial
PENDEKATAN HUKUM EMPIRIS, SOSIOLOGIS, REALISME, KONTEKS SOSIAL
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (sosial institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan sosial yang manifest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normatif tetapi secara konstektual sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika sosial dalam rangka seaching for the meaning.
Pendekatan ini diharapkan dapat menjelaskan fenomena hukum yang ada melalui alat bantu logika ilmu-ilmu sosial. Berbagai praktek hukum yang tidak sesuai dengan aturan normatif, disparitas hukum, terjadinya dieviani behavior, anomaly hukum, ketidak patuhan (disobedience), pembangkangan hukum, violent, kriminalisme dan sebagainya akan lebih mudah melalui pendekatan ini.

MENUJU PENDEKATAN HUKUM YANG HOLISTIK DAN VISIONER.
Sebagai upaya menuju pemahaman hukum secara holistic dan visioner kiranya diperlukan pergesaran paradigma (paradigma shift) dimana kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara sinergis dam komplementer. Artinya pendekatakan terhadap hukum tidak hanya mengambil salah satu, tetapi harus mengambil kedunya secara utuh sehingga akan dapat dilakukan analisi  secara holistic dan komprehensif.
Pendekatakan hukum yang positifstik saja maka menyebabkan hukum akan teralienasi dari basis sosial di mana hukum itu berada. Pendekatan ini semata mungkin akan dapat memperoleh nilai kepastian hukum sebagai satu tujuan hukum.
Sebaiknya pendekatan hukum empiris, sosiologis, realisme, atau konteks sosial saja akan menyebabkan seolah-olah hukum tertulis menjadi tidak diperlukan, tetapi hanya melihat realitas hukum yang terjadi. Jika pendekatan ini dipakai sebagai satu-satunya alat dalam memahami hukum maka sangat dapat mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum, bahkan dikhawatirkan tidak lagi diperlukan lagi adanya hukum atau undang-undang sehingga lebih lanjut dapat terjadi anarkisme hukum.
Bekerjanya Hukum : setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role accupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seseorang itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan  yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai rsepons terhadap  peraturan hukum merupakan fungsi perturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri; mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan. Bagaimana para pembuat  undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi
Hukum sebagai sub sistem sosial
Menurut teori sibenertika Talcoot Parson suatu sistem sosial pada hakekatnya merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan satu dengan yang lain.
Hukum dalam kehidupan sistem sosial à hukum menjadi hal yang berpengaruh salah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supermasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.
Kaidah Sosial dan Kaidah Hukum sulit dibedakan : dikarenakan :karena keduanya teroperasi secara bersama dalam masyarakat. keduanya mempunyai tujuan yang sama, sebagai alat kontrol, terjadi saling tark di antara kedua-duanya. Kaidah dinamakan hukum jika memenuhi : kaidah itu dinamakan kaidah hukum jika dibuat oleh mereka yang punya kewenangan.  Bahwa kaidah itu mempunyai tujuan dan berlaku secara universal. Kaidah berlaku secara universal dan tidak untuk sementara waktu.
Hubungan Hukum dan kelembagaan masyarakat : Adanya hubungan yang saling berkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.  Apabila hukum itu semakin digarap atau diperlakukan sebagai suatu bidang tersendiri di dalam masyarakat sebagaimana halnya di dalam masyarakat yang kompleks dengan system yang logis konsisten, dengan istilah-istilah serta pengertian-pengertian yang bersifat sangat teknis dan sebagainya, maka justru semakin dirasakan perlunya untuk mencari perkaitan antara sistim hukum yang ada dengan anggota-anggota masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan hukum itu.
Menurut pendapat Podgorecki bawa jarak perbedaan antara hukum positif dengan sentiment hukum masyarakat ditentukan oleh tingkat pengorganisasian pendapat umum. Semakin baik pengorganisasian itu dilakukan semakin mudah pula sentiment hukum rakyat memperoleh jalannya ke dalam hukum positif.
Kesimpulan
Apabila hukum teori positivistik dan teori hukum sosiologis semakin digarap dan atau diperlakukan sebagai suatu bidang tersendiri di dalam masyarakat, maka kepastian hukum, keadilan, dan ketertiban akan semakin bisa  dirasakan oleh masyarakat.
Daftar Pustka
Mohammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, Mutiara, Jakarta, cet. Ke enam  1979,
M. Ali Mansyur, Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia, Jurnal hukum Prgerisif Vol. 2 No. 1 April 2006.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,  Penerbit Alumni Bandung, 1982.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar