Sejak tanggal
12 Mei 2010 lalu genap sudah 12 tahun peringatan tragedi trisakti,
yaitu peristiwa penembakan mahasiswa saat melakukan demonstrasi menuntut
lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden yang sudah
diembannya selama 32 tahun. Pada peristiwa yang telah menewaskan 4 orang
mahasiswa Universitas Trisakti yaitu Elang Mulya Lesmana, Heri
Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie, yang kemudian dikenal
sebagai ”Pahlawan reformasi”, merupakan babak baru sejarah perjalanan
kehidupan negara Indonesia yang dikenal dengan Era Reformasi. Era yang
diharapkan dapat memberikan harapan baru, semangat baru, era yang
diharapkan akan terjadinya pemerintahan yang bersih, yang bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, era yang diharapkan dapat memberikan
kedamaian, memberikan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh
anak negeri.
Saat ini, era Reformasi sudah berlangsung lebih dari satu dasawarsa,
selama kurun waktu tersebut perjalanan menuju kearah sebagaimana yang
menjadi tujuan awal reformasi seakan-alan kehilangan arah, kedamaian
semakin menjauh, hal ini dapat terlihat dengan kerap terjadinya berbagai
bentuk benturan baik fisik maupun non fisik di Indonesia yang katanya
dikenal dengan penduduknya yang sopan dan ramah. Perang antar suku,
perang antar desa, bahkan pertikaian antar daerahpun masih sering
terjadi diberbagai daerah di Indonesia yang tidak jarang berakhir dengan
kerusuhan berdarah. Degradasi moral yang ditandai dengan semakin
mewabahnya penyakit KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) melanda hampir
disetiap lembaga khususnya lembaga pemerintah seperti kasus Bank
Century, kasus makelar pajak yang telah menyeret banyak pejabat
diberbagai institusi termasuk di Direktorat jenderal pajak, kepolisian,
kejaksaan, dan lain-lain menjadi bukti nyata yang dapat dilihat dengan
mata telanjang betapa bobroknya pengelolaan negeri ini.
Saat ini kehidupan masyarakat semakin materialistis serta lebih
mengutamakan perjuangan untuk kepentingan individu dan kelompok yang
semakin menempatkan rakyat dan bangsa Indonesia pada suatu status
kehidupan yang sangat rendah. Secara obyektif kita sedang menjadi bangsa
yang inferior jika dibandingkan dengan tingkat kemajuan yang telah
dicapai oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura
atau negara-negara lain di dunia. Rasa bangga sebagai anak negeri dari
sebuah negara yang dulunya cukup disegani didunia telah terkikis oleh
krisis multidimensional dan kebobrokan kehidupan mental dan moral yang
menyeruak dihampir setiap sendi kehidupan. Rasa nasionalisme sebagai
bangsa dan jiwa patriotisme seakan sudah semakin memudar sehingga status
quo Orde Baru terkesan tidak berubah, bahkan terlihat semakin bertahan
atau bisa jadi semakin parah yang disebabkan oleh keserakahan dan gaya
kehidupan yang hanya ingat diri, ingat keluarga dan ingat kelompok.
Reformasi seakan berjalan semakin menjauh dari tujuan yang telah
didengungkan sekitar 12 tahun lalu, ego kedaerahan semakin muncul
kepermukaan dengan membonceng suatu kereta yang bernama otonomi daerah.
Raja-raja kecil muncul di segenap wilayah Indonesia. Kekuasaan dan
kepemimpinan di berbagai daerah seakan-akan menjadi milik dinasti
keluarga yang ditandai dengan banyaknya istri atau anak para Gubernur,
Bupati ataupun Walikota yang dengan berbagai upaya berusaha merebut
jabatan sebagai kepala daerah untuk menggantikan suami atau ayahnya.
Partai-partai politik sibuk mengurus kekuasaan dan telah melupakan
tujuan utamanya untuk mensejahterakan masyarakat. Barangkali ada baiknya
kita menentukan atau merumuskan kembali jati diri kita sebagai bangsa,
sumpah Pemuda yang dicetuskan 82 tahun yang lalu ada baiknya dikaji
kembali, apakah masih relevankah saat ini.
Reformasi yang awalnya memang milik mahasiswa, yang lahir sebagai salah
satu hasil pembelajaran diperguruan tinggi sekarang telah dikudeta oleh
Elit Politik. Namun itu semua tidak sepenuhnya kesalahan elit. Tetapi
justru mahasiswa dan institusinya yaitu perguruan tinggi juga mempunyai
andil terhadap kesalahan tersebut, karena belum sepenuhnya berhasil
menciptakan insan-insan kampus, kader-kader intelektual yang mampu
mengejahwantakan apa yang sebenarnya diperlukan oleh negeri ini.
Perguruan tinggi sebagai wadah pembelajaran, sebagai tempat penggodokan
para intelektual, bukan hanya dituntut untuk mampu mengelolah input atau
mahasiswa yang ada menjadi lulusan yang hanya tangguh secara akademik,
tetapi yang lebih penting dari itu adalah menghasilkan lulusan sebagai
insan yang berpotensi tinggi, inisiatif dan kreatif serta penuh dedikasi
atau sumber daya manusia yang unggul, profesional, beriman dan
berwibawa, mampu memimpin serta berwawasan kedepan. Perguruan tinggi
harus mampu membimbing mahasiswanya menjadi insan yang peka terhadap
persoalan-persoalan yang membelit bangsanya.
Kematangan sebuah Perguruan Tinggi bukanlah dilihat dari usianya, tetapi
harus dilihat dari kesanggupan untuk bisa memenuhi dan mewujudkan
secara nyata tanggung jawab kelembagaan kepada masyarakat. Akreditasi
yang baik bukan hanya ditentukan oleh Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi, tetapi juga ditentukan oleh publik atau yang lebih
dikenal dengan Akuntability Publik. Perguruan tinggi harus mampu
menjadi lembaga penyelenggaraan pendidikan tinggi yang sanggup
mengantarkan lulusannya memiliki kemampuan untuk dapat diterima dan
berkiprah ditengah masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pendidikan atau pembelajaran dalam suatu perguruan
tinggi diperlukan pengelolah yang mampu mengelolah input yang ada
menjadi output yang memang bisa diandalkan. Menurut Freire, para
akademisi yang bekerja di lembaga pendidikan tinggi tidak bisa
melepaskan diri dari 3 hal: (1) memahami relasi antara pendidikan
tinggi, kekuasaan dan politik, (2) mengaitkan kurikulum dengan realitas
sosial, ini penting karena tanpa mengaitkan kurikulum dengan realitas
sosial, dunia pendidikan tinggi akan tetap menjadi suatu komunitas yang
terlepas dari persoalan masyarakat yang semestinya harus menjadi
keprihatinannya, (3) menyadari kemampuan kelas dominan mempopulerkan
kata-kata yang sering menjadi slogan kelompok revolusioner.
Sejarah pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru, dari orde
baru ke era reformasi menunjukkan peran sentral mahasiswa sebagai agen
perubahan. Oleh karena itu mahasiswa dan perguruan tinggi dengan
idealismenya harus terus berusaha untuk mengawal reformasi. Supaya apa
yang menjadi tujuan semula dari reformasi ini dapat kembali berjalan
sesuai dengan yang dicita-citakan, sehingga pengorbanan para mahasiswa
yang tewas dalam tragedi trisakti tidak menjadi sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar