Dengan terjadinya conflict of human interest manusia
hidupnya tidak lagi tenteram, damai, aman. Pada hal manusia ingin hidup
tenteram, tidak ingin diganggu kepentingannya oleh sesamanya (pencurian, perselingkuhan)
maupun lingkungannya (banjir, gempa bumi), sedangkan manusia sejak dulu sampai
sekarang bahkan dalam waktu yang akan datang, dimana-mana selalu diganggu
kepentingannya. Oleh karena itu manusia membutuhkan perlindungan
kepentingan-kepentingannya. Maka terciptalah perlindungan kepentingan manusia
dalam be ntuk kaedah sosial antara lain
kaedah hukum.
Hukum atau produk hukum, dari segi mikro, adalah
ungkapan pikiran manusia yang berisi ungkapan nila-nilai yang bersifat abstrak,
yang diungkapkan menjadi kenyataan yang konkret atau dikristalisasi dalam
bentuk bahasa agar supaya dapat dimengerti oleh sesamanya.
Oleh karena itu hukum memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi, baik tertulis maupun lisan. Tidak mungkin hukum itu tanpa bahasa. Hukum terikat pada bahasa: perjanjian, peraturan, putusan). Akan tetapi perlu diingat bahwa bahasa bagi hukum adalah sekedar alat dan bukan tujuan
Hukum sebagai realisasi ungkapan pikiran manusia mula-mula berupa nilai-nilai yang abstrak sifatnya dan berakar dalam kenyataan masyarakat serta pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman hidup oleh kehidupan bersama. Nilai-nillai ini berhubungan dengan apa yang benar dan apa yang salah, kebajikan dan kejahatan, kebaikan dan keburukan, yang dikehendaki dan yag ditolak.
Oleh karena itu hukum memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi, baik tertulis maupun lisan. Tidak mungkin hukum itu tanpa bahasa. Hukum terikat pada bahasa: perjanjian, peraturan, putusan). Akan tetapi perlu diingat bahwa bahasa bagi hukum adalah sekedar alat dan bukan tujuan
Hukum sebagai realisasi ungkapan pikiran manusia mula-mula berupa nilai-nilai yang abstrak sifatnya dan berakar dalam kenyataan masyarakat serta pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman hidup oleh kehidupan bersama. Nilai-nillai ini berhubungan dengan apa yang benar dan apa yang salah, kebajikan dan kejahatan, kebaikan dan keburukan, yang dikehendaki dan yag ditolak.
Nilai ini kemudian dikristalisasi menjadi asas
hukum, tetapi asas hukum ini tidak “larut” dalam konkretisasi tetapi mempunyai
nilai “lebih”, karena tetap mempertahankan sifatnya yang umum atau abstrak.
Asas hukum ini kemudian lebih dikonkretkan lagi, yang sifatnya masih abstrak
umum karena tersirat menjadi norm atau kaedah hukum. Kemudian norm atau kaedah
hukum tadi lebih dikonkretkan lagi yang tersurat dalam ujud peraturan hukum
konkret. Peraturan hukum konkret ini direalisasi atau dilaksanakan dalam bentuk
putusan atau yurisprudensi.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa terjadinya hukum itu berlangsung melalui pikiran yang
bersifat abstrak, umum dan mendasar yang merupakan nilai, menjadi asas hukum
dan yang kemudian dikonkretisasi menjadi peraturan hukum konkret dan
dilaksanakan menjadi putusan atau yurisprudensi.
Dengan demikian maka asas hukum adalah pikiran dasar
yang bersifat abstrak umum serta terdapat di dalam, di belakang atau tersirat
dalam peraturan hukum konkret, walaupun tidak tertutup kemungkinan ada asas
hukum yang tersurat atau konkret sifatnya.
Asas hukum sifatnya umum yang berarti bahwa asas
hukum itu dapat berlaku dalam pelbagai situasi, tidak hanya berlaku atau
ditujukan untuk peristiwa tertentu saja.
Asas hukum dibagi menjadi asas hukum yang luas yang
berhubungan dengan seluruh bidahg hukum (lex posteriori derogat legi priori)
dan asas hukum yang sempit yang berhubungan dengan bidang hukum tertentu saja
(kebebasan berkontrak).
Karena asas hukum itu sifatnya umum, maka membuka
peluang akan adanya penyimpangan-penyimpangan atau pengecualian-pengecualian.
Contohnya: Pasal 28A UUD berbunyi bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kedhidupannya” tetapi implementasinya
dimungkinkan hukuman mati. Pasal 28 I (1) UUD berbunyi: “ Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, tetapi pasal 43 (1)
Undang-undang tentang Pengadilan tentang Hak Asasi Manusia berbunyi
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diunangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc”.
Karena membuka peluang akan adanya
pengecualian-pengecualian, maka asas hukum membuat sistem hukumnya fleksibel,
luwes.
Asas hukum merupakan sebagian cita-cita manusia. Oleh karena itu asas hukum merupakan suatu presumption, suatu persangkaan, sesuatu yang tidak nyata: putusan hakim dianggap benar, setiap orang diangap tahu akan undang-undang.
Asas hukum tidak mengenal hierarkhi, yang berarti bahwa asas hukum tidak mengenal tingkatan-tingkatan, dengan demikian tidak mungkin terjadi konflik antara asas hukum yang satu dengan asas hukum yang lain (antara asas “kebebasan berkontrak” dengan asas “mengikatnya perjanjian bagi para pihak”).
Asas hukum merupakan sebagian cita-cita manusia. Oleh karena itu asas hukum merupakan suatu presumption, suatu persangkaan, sesuatu yang tidak nyata: putusan hakim dianggap benar, setiap orang diangap tahu akan undang-undang.
Asas hukum tidak mengenal hierarkhi, yang berarti bahwa asas hukum tidak mengenal tingkatan-tingkatan, dengan demikian tidak mungkin terjadi konflik antara asas hukum yang satu dengan asas hukum yang lain (antara asas “kebebasan berkontrak” dengan asas “mengikatnya perjanjian bagi para pihak”).
Pengetahuan tentang sistem hukum dalam menegakkan
hukum tidak kurang pentingnya dengan pengetahuan tentang asas hukum. Kehidupan
merupakan sesuatu yang tampak tidak teratur, tidak terbatas dan bersifat
kompleks. Manusia ingin memahaminya dan menguasai kehidupan nyata yang kompleks
itu, maka kompleksitas kehidupan nyata itu perlu disederhanakan. Dengan
menciptakan sistem atau dengan sistematisasi maka kompleksitas itu
disederhanakan dan dengan demikian lebih mudah dapat dikuasai
Sebagaimana kita ketahui hukum merupakan suatu
sistem, yang berarti bahwa hukum merupakan suatu kesatuan unsur-unsur atau
bagian-bagian yang terstruktur, otonom dan bebas. Dengan kemandiriannya atau
kebebasannya sistem hukum bersifat terbuka dalam arti bahwa unsur-unsur di
dalam sistem hukum mempengaruhi unsur-unsur di luar sistem hukum dan sebaliknya
(contoh masalah lingkungan, korupsi). Di dalam sistem hukum terbuka terdapat
sistem hukum terbuka dan tertutup.
Konflik antara bagian-bagian atau unsur-unsur di dalam sistem hukum tidak dikehendaki. Oleh karena itu sistem hukum menyediakan asas hukum untuk mengatasi konflik yang terjadi.
Konflik antara bagian-bagian atau unsur-unsur di dalam sistem hukum tidak dikehendaki. Oleh karena itu sistem hukum menyediakan asas hukum untuk mengatasi konflik yang terjadi.
Bagian-bagian dari sistem hukum harus ada di dalam
sistem hukum. Bagian-bagain itu tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan
satu sistem.
Sistem hukum itu bersifat lengkap yang melengkapi
peraturan hukum, karena peraturan hukumnya yang tidak lengkap.
Di dalam praktek sering orang mencoba-coba melakukan
penemuan hukum, mengadakan penerobosan tanpa menguasai atau tidak memperhatikan
metode penemuan hukum, karena didorong oleh kepentingan sesaat atau kepentingan
pribadi atau kepentingan sekelompok orang saja. Dalam menemukan hukumnya harus
dikuasai pula sumber hukumnya.
Kalau suatu pristiwa konkret tidak diatur dalam undang-undang maka hukumnya masih mungkin dicari dengan jalan penalran atau argumentasi, yaitu dengan argumentasi per analogian atau argumentsi a contraro. Tetapi kalau peristiwa konkretnya itu sama sekali tidak diatur, maka jawabannya tidak semdah “dibolehkan” atau “dilarang”, akan teapi harus dipertanyakan apakah peristiwa konkret yang tidak diatur itu bertentangan dengan ketrtiban umum, kesusilaan atau tidak. Kalau tidak bertengangan mengapa harus dilarang.
Kalau suatu pristiwa konkret tidak diatur dalam undang-undang maka hukumnya masih mungkin dicari dengan jalan penalran atau argumentasi, yaitu dengan argumentasi per analogian atau argumentsi a contraro. Tetapi kalau peristiwa konkretnya itu sama sekali tidak diatur, maka jawabannya tidak semdah “dibolehkan” atau “dilarang”, akan teapi harus dipertanyakan apakah peristiwa konkret yang tidak diatur itu bertentangan dengan ketrtiban umum, kesusilaan atau tidak. Kalau tidak bertengangan mengapa harus dilarang.
Maka oleh karena itu dalam kita melaksanakan hukum
maka marilah kita mentaati asas hukum, system hukum dan metode penemuan hukum agar
hukum kita tidak lebih terpuruk lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar