PENDAHULUAN
Kebenaran
suatu teori yang dikemukakan setiap ilmuwan matematikawan maupun para ahli
merupakan hal yang sangat menentukan reputasi mereka. Untuk mendapatkan hal
tersebut, mereka akan berusaha untuk mengaitkan suatu fakta atau data dengan
fakta atau data lainnya melalui suatu proses penalaran yang sah atau valid. Ada
pernyataan menarik yang dikemukakan Presiden AS Thomas Jefferson sebagaimana dikutip Copi (1978) berikut ini: “In
a republican nation, whose citizen are to be led by reason and persuasion and
not by force, the art of reasoning becomes of first importance.” Pernyataan
ini menunjukkan pentingnya logika, penalaran dan argumentasi dipelajari dan
dikembangkan sehingga setiap orang akan dapat melihat dan menyelesaikan sesuatu
hal ataupun masalah dengan daya nalar (otak) bukan dengan otot. Di samping itu,
ada pernyataan lain dari Juliana Geran
Pilon yang senada dengan Presiden AS tadi: “Civilized life depends upon the success of reason in social
intercourse, the prevalence of logic over violence in interpersonal conflict.”
Dua pernyataan di atas telah menunjukkan bahwa logika merupakan ilmu yang
sangat penting dipelajari.
Dalam
dunia informatika dan ilmu komputer, logika mempunyai peranan sangat mendasar
dalam perkembangan teknologi komputer, karena logika digunakan dalam berbagai
aspek di lingkungan komputer seperti pada Arsitektur Komputer, Pemrograman,
Basisdata, dan sebagainya. Di bidang Arsitektur Komputer, logika digunakan
dalam membangun komputer itu sendiri karena sirkuit komputer hanyalah berupa
serangkaian kombinasi logik dari beberapa bit untuk membentuk instruksi. Dalam
operasionalnya komputer sebenarnya hanya mengenal dua kondisi atau keadaan
yaitu keadaan ada atau tidak adanya aliran listrik. Dalam bahasa logika keadaan
ini adalah merepresentasikan kondisi True
dan False. Sedangkan dalam bilangan
biner disimbolkan sebagai bilangan 1 dan 0. Jadi secara keseluruhan rangkaian
digital yang terdapat di dalam komputer merupakan kombinasi dari berbagai
kondisi di atas yang diekspresikan dengan berbagai ekspresi logik seperti AND, OR, XOR, dan sebagainya.
Dalam
Pemrograman, logika juga berperan sangat penting karena sebuah program
sebenarnya dibangun dari sebuah algoritma yang merupakan langkah - langkah
dasar dari sebuah instruksi yang akan dikerjakan oleh komputer. Bila seseorang
mempunyai dasar logika yang kuat, maka pengetahuan itu akan sangat bermanfaat
dalam menyusun sebuah algoritma yang baik untuk selanjutnya diterjemahkan
menjadi sebuah program yang baik pula. Demikian pentingnya logika ini dalam
dunia informatika, sehingga tidak berlebihan bila disimpulkan logika merupakan
tulang punggung dalam dunia informatika.
1.2 Teori dan Pembahasan
1.2.1 Pengertian Logika
Logika
berasal dari kata Yunani kuno λόγος
(logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata
dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu
pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan
teratur. Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan
kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke
dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan
dengan masuk akal.
Logika
merupakan cabang filsafat yang bersifat praktis berpangkal pada penalaran, dan
sekaligus juga sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Dengan fungsi
sebagai dasar filsafat dan sarana ilmu karena logika merupakan “jembatan
penghubung” antara filsafat dan ilmu, yang secara terminologis logika
didefinisikan: Teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan pada dasarnya
bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian ditarik suatu
kesimpulan. Penyimpulan yang sah, artinya sesuai dengan pertimbangan akal dan
runtut sehingga dapat dilacak kembali yang sekaligus juga benar, yang berarti
dituntut kebenaran bentuk sesuai dengan isi.
Logika
sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam
bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga
setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan
karena semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram
himpunan, dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan
diagram himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.
1.2.2 Sejarah Logika
Logika
dimulai sejak Thales (624 SM - 548
SM), yaitu pada Masa Yunani Kuno filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala
dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal
budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales
mengatakan bahwa air adalah arkhe
(Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika
induktif. Aristoteles kemudian
mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air
adalah arkhe alam semesta dengan
alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air adalah arkhe
alam semesta, yang menurut Aristoteles
disimpulkan dari:
·
Air
adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
·
Air
adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
·
Air
jugalah uap
·
Air
jugalah es
Jadi,
air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam
semesta. Sejak saat Thales sang
filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran
dalam bidang ini.
Pada
masa Aristoteles logika masih disebut
dengan analitica (Logika Formal),
yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi
yang benar, dan dialektika yang
secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih
diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles
adalah silogisme.
Logika
pertama-tama disusun oleh Aristoteles
(384-322 SM), sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara
jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu,
disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon, terdiri atas enam bagian.
Buku
Aristoteles berjudul Organon (alat) berjumlah enam, yaitu:
1. Categoriae menguraikan pengertian-pengertian
2.
De
interpretatione tentang
keputusan-keputusan
3.
Analytica
Posteriora tentang
pembuktian.
4.
Analytica
Priora tentang Silogisme.
5.
Topica
tentang argumentasi dan
metode berdebat.
6.
De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan
kekeliruan berpikir.
Karya
Aristoteles tentang logika dalam buku
Organon dikenal di dunia Barat
selengkapnya ialah sesudah berlangsung penyalinan-penyalinan yang sangat luas
dari sekian banyak ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin. Penyalinan-penyalinan
yang luas itu membukakan masa dunia Barat kembali akan alam pikiran Grik Tua.
Pada
370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum,
melanjutkan pengembangn logika. Theoprastus
memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah penafsirannya tentang pengertian
yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan.
Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM -
226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M
- 201 M) dan Sextus Empiricus (200 M), dua orang dokter medis yang
mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri.
Kemudian,
Porphyrius (233-306 M), seorang ahli
pikir di Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika.
Bagian baru ini disebut Eisagoge,
yakni sebagai pengantar Categorie.
Dalam bagian baru ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan
lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang biasa disebut dengan
klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa
Latin dan menambahkan komentar- komentarnya. Johanes Damascenus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae.
Pada
abad pertengahan yakni abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De
Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan.
Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi
logika. Maka lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti:
·
Petrus Hispanus 1210 - 1278)
·
Roger Bacon 1214-1292
·
Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika
baru yang dinamakan Ars Magna, yang
merupakan semacam aljabar pengertian.
·
William Ocham (1295 - 1349)
Tokoh
logika pada zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir
dalam bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli
pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan memberi komentar
atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi
delapan bagian.
Petrus Hispanus
(meninggal 1277 M) menyusun pelajaran logika berbentuk sajak, seperti All-Akhdari
dalam dunia Islam, dan bukunya itu menjadi buku dasar bagi pelajaran logika
sampai abad ke-17. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula
mempergunakan berbagai nama untuk sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan
bentuk silogisme kategorik dalam sebuah sajak. Dan kumpulan sajak Petrus Hispanus mengenai logika ini bernama Summulae.
Pengembangan
dan penggunaan logika Aristoteles
secara murni diteruskan oleh Thomas
Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan
dan John Locke (1632 - 1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding.
Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan logika induktif yang
diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum
Scientiarum. J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan
pada pemikiran induksi dalam bukunya System
of Logic.
Francis Bacon
(1561-1626 M) melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan menganjurkan
penggunaan sistem induksi secara lebih luas. Serangan Bacon terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai
kalangan di Barat, kemudian perhatian lebih ditujukan kepada penggunaan sistem
induksi. Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di
antaranya adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan
penggantian pernyataan-pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya
dan lebih mudah melakukan analisis. Demikian juga Leonard Euler, seorang
ahli matematika dan logika Swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan
menggunakan lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antarterm yang
terkenal dengan sebutan circle-Euler.
John Stuart
Mill pada tahun 1843 mempertemukan
sistem induksi dengan sistem deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam
deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi
penyusunan pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi,
kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah, tetapi
sebetulnya saling membantu. Mill sendiri merumuskan metode-metode bagi sistem
induksi, terkenal dengan sebutan Four
Methods.
Logika
Formal sesudah masa Mill lahirlah sekian banyak buku-buku baru dan
ulasan-ulasan baru tentang logika. Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir
satu cabang baru yang disebut dengan Logika-Simbolik. dengan hadirnya
pelopor-pelopor logika simbolik seperti:
·
Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan
akal budi dan lebih mempertajam kepastian.
·
George Boole (1815-1864)
·
John Venn (1834-1923)
·
Gottlob Frege (1848 - 1925)
Lalu
Chares Sanders Peirce (1839-1914),
seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan
karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai
tanda (general theory of signs).
Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang
merupakan karya bersama Alfred North
Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand
Arthur William Russel (1872 - 1970). Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain.
Pelopor
logika simbolik pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz. Logika simbolik pertama dikembangkan oleh George Boole dan Augustus de Morgan.
Boole secara sistematik dengan memakai simbol-simbol yang cukup luas dan metode
analisis menurut matematika, dan Augustus
De Morgan (1806-1871) merupakan seorang ahli matematika Inggris memberikan
sumbangan besar kepada logika simbolik dengan pemikirannya tentang relasi dan
negasi.
Tokoh
logika simbolik yang lain ialah John Venn (1834-1923), ia berusaha
menyempurnakan analisis logik dari Boole dengan merancang diagram
lingkaran-lingkaran yang kini terkenal sebagai diagram Venn (Venn’s diagram) untuk menggambarkan
hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari silogisme. Untuk
melukiskan hubungan merangkum atau menyisihkan di antara subjek dan predikat
yang masing-masing dianggap sebagai himpunan.
Perkembangan
logika simbolik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 dengan terbitnya 3
jilid karya tulis dua filsuf besar dari Inggris Alfred North Whitehead dan Bertrand
Arthur William Russell berjudul Principia
Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992 halaman. Karya tulis Russell-Whitehead Principia Mathematica
memberikan dorongan yang besar bagi pertumbuhan logika simbolik.
Di
Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada
perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada
pesantren-pesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan
buku-buku berbahasa Arab. Pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah
mulai berkembang sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada
perkembangan teori himpunan.
Dalam
sejarah perkembangan cara berfikir, dialektika
merupakan perkembangan lebih lanjut dari logika formal. Logika formal adalah
sebuah ilmu-pengetahuan besar tentang sistim proses berfikir. Logika formal
merupakan hasil karya filasat zaman yunani kuno. Pemikir-pemikir Yunani kuno
awal lah yang menemukan metode berfikir. Pemikir Yunani kuno, seperti Aristoteles, mengumpulkan, mengkelasifikasikan,
mengkritik dan mensistimasikan hasil-hasil positif dari berbagai pemikiran dan
membangun sebuah sistim berfikir yang disebut logika formal. Euklides melakukan hal yang sama untuk
dasar-dasar geoemetri; Archimides
untuk dasar-dasar mekanika; Ptolomeus
dan Alexandria kemudian menemukan
astronomi dan geografi; dan Galen
untuk anatomi.
Logika
Aristoteles mempengaruhi cara
berfikir umat manusia selama dua ribu tahun. Cara fikir tersebut tidak memiliki
lawan sampai kemudian ditantang, dijatuhkan dan menjadi ketinggalan zaman oleh
dan karena dialektika, sebuah sistim
besar kedua dalam ilmu cara berfikir. Dialektika
merupakan hasil dari gerakan ilmu-pengetahuan revolusioner selama seabad, yang
dilakukan oleh pekerja-pekerja intelektual. Dialektiak
muncul sebagai cara fikir terbaru dari filsuf-filsuf besar dalam Revolusi
Demokratik di Eropa Barat pada abad ke-6 dan abad ke-17. Hegel, seorang tokoh dari sekolah filsafat idealis (borjuis) di
Jerman, adalah seorang guru besar yang pertama kali mentransformasikan ilmu
logika, seperti di sebutkan oleh Marx:
“bentuk-bentuk umum gerakan dialektika yang memiliki cara yang
komprehensif dan sadar sepenuhnya.”
Marx dan
Engels adalah murid Hegel di
lapangan Logika. Dalam ilmu logika, mereka berdua lah yang kemudian melakukan
revolusi pada revolusi Hegelian dengan menyingkirkan elemen mistik dalam
dialektikanya, dan menggantikan dialektika idealistik dengan sebuah landasan
material yang konsisten.
Pada
saat kita mendekati dialektika materialis dengan menggunakan logika
formal, kita harus memundurkan langkah kita pada sejarah aktual kemajuan
ilmu logika, yakni perkembangan dari logika formal menuju ke logika dialektik.
Adalah
salah jika kita mengira bahwa sejarah perkembangan cara berfikir adalah seperti
ini: bahwa para filsuf Yunani tidak mengetahui soal dialektika; atau mengira Hegel dan Marx menolak sepenuhnya logika formal. Seperti yang dituliskan oleh
Engels: “filsuf yunani kuno sudah
dialektik sejak kemunculannya dan Aristoteles,
sebagai intelektual yang paling ensiklopedis di antara mereka, bahkan sudah
menganalisa bentuk-bentuik paling esensial pemikiran dialektik.” Tak
ketinggalan pula, dialektika muncul dalam bentuk cikal bakalnya dalam pemikiran
filsuf Yunani. Namun filsuf Yunani belum dan tidak dapat mengembangkan
serpihan-serpihan pemikiran dialektik dalam sebuah sistimatika berfikir yang
ilmiah. Mereka menyumbangkan serpihan-serpihan pemikiran tersebut hingga
menjadi bentuk akhir logika formal Aristoteles.
Pada saat yang bersamaan, penelitian dialektika mereka, kritisisme pada cara
fikir formal dan sebaliknya dan semua persoalan yang dihadapinya dilakukan
dengan keterbatasan logika formal, yang diperjuangkan selama berabad-abad yang,
kemudian, dapat diselesaikan oleh dialektika hegelian dan, kini, oleh dialektika marxis.
Para
akhli Dialektika modern tidak melihat logika formal sebagai sesuatu yang tak
berguna. Sebaliknya, mereka menganggap bahwa logika formal tidak sekadar
sesuatu yang penting dalam sejarah perkembangan metode berfikir tapi juga cukup
penting pada saat ini agar berfikir benar. Tapi, dalam dirinya, logika formal
jelas kurang lengkap. Unsur-unsur absyahnya menjadi bagian dalam dialektika.
Hubungan antara logika formal dengan dialektika menjadi berkebalikan. Di
dalam pemikiran Yunani klasik sisi formal logika menjadi dominan dan aspek
dialektiknya menjadi tergeser. Dalam ajaran modern, dialektika berada di garda
depan dan sisi formal logika menjadi sub-ordinat terhadapnya.
Karena
kedua tipe yang bertentangan tersebut memiliki banyak kesamaan, dan logika
formal masuk sebagai materi struktural dalam kerangka logika dialektik, maka
berguna sekali bagi kita menguasai logika formal. Dalam mempelajari logika
formal secara tak langsung kita sudah siap menuju logika dialektik. Dengan
mengakui, atau setidaknya sedikit mengakui, logika formal, kita telah
siap memisahkan logika formal dari logika dialektik. Hegel menunjukkan hal yang sama: ”Dalam kedekatannya yang terbatas
(antara logika formal dan logika dialektik) terdapat suatu kotradiksi yang bisa
menyumbangkan sesuatu ke belakang dirinya (logika dialektik).”
Akhirnya,
lewat prosedur tersebut, kita mendapatkan pelajaran berharga dalam pemikiran
dialektik. Hegel menjelaskan lagi:
“Sesuatu tidak bisa dikenali secara menyeluruh sebelum mengenali lawannya.”
Contohnya, kau tidak dapat benar-benar mengerti tentang seorang buruh-upahan
sampai kau mengetahui bagaimana sebaliknya lawan sosial ekonominya, kelas
kapitalis. Kau tidak dapat mengetahui Trotskyisme sampai kau mempelajari
secara mendalam esensi antitesis politiknya, yakni Stalinisme. Jadi kau tak akan bisa mempelajari kedalaman dialektika
tanpa pertama kali mempelajari secara mendalam sejarah pendahulunya dan
antitesis teoritisnya, yakni logika formal.
1.3 Pembagian Logika
1.3.1 Logika Berdasarkan Waktu
Berdasarkan
waktu munculnya suatu aliran logika, Logika dapat dibagi menjadi beberapa
aliran yakni:
a.
Logika Klasik
Manusia
yang pertama kali membakukan proses penalaran atau logika adalah Aristoteles.
Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning),
yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran
tentang logika formal (formal logic). Analytic adalah ilmu logika yang
berdasarkan pada premis-premis yang diasumsikan benar. Salah satu konsep dasar
dari logika aristoteles adalah silogisme. "A discourse in which, certain things being stated, something other than
what is stated follows of necessity from their being so.",
Aristoteles.
Contoh
silogisme :
·
Semua mamalia menyusui (Premis Mayor)
·
Kuda adalah mamalia (Premis Minor)
·
Kuda menyusui (Kesimpulan)
Kesimpulan dapat
diambil jika subjek dari premis minor adalah bagian dari subjek premis mayor.
Predikat kalimat kesimpulan adalah predikat premis mayor.
b.
Rasionalitasme
Rasionalisme
(Latin ratio, "reason") muncul dalam beberapa bentuk nyaris pada
setiap tingkatan filsafat, teologi Barat, namun umumnya Rasionalisme ini
diidentifikasi dengan tradisi yang berakar dari abad 17 oleh filsuf dan
cendekia Francis, René Descartes "Aku berpikir, berarti aku ada".
(Rene Descartes (1598-1650) Kalimat tersebut dapat diartikan, segala sesuatu
dapat menjadi benar jika dapat dibuat penalaran atau logika yang membuktikannya
benar. Itu adalah ide dasar dari paham rasionalitasme.
Rene
Descartes adalah salah satu pelopor paham Rasionalitasme. Rasionalisme
menganggap ilmu yang diperoleh melalui pancaindera itu sebagai rendah
martabatnya jika dibandingkan dengan ilmu yang diperolehi melalui akal, kerana
pengalaman dari pancaindera dapat menipu dan tidak mempunyai kepastian. Sebelum
Descartes, sebenarnya Plato sudah mengemukakan ide Rasionalisme. Menurut Plato,
di atas dunia ini terdapat alam-alam ide yang menjadi sumber pengetahuan. Plato
berkeyakinan bahwa jiwa manusia sebelum memasuki alam ini ia berada pada alam
ide dan beranggapan bahwa pemikiran manusia berasal dari Tuhan.
c.
Empirisme
Memasuki
masa Rennaissanse (abad 14-16 M), lahirlah paham empirisme. David Hume
(1611-1776), menyatakan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan
adalah pengalaman atau, dengan kata lain, eksperimen. Dengan itu pihak
Empirisis menafikan kewujudan ilmu yang sedia ada secara semula jadi pada diri
manusia (innate knowledge). Bagi paham Empirisisme pula, ilmu yang sah terbit
dari pengalaman dari pancaindera dan disahkan juga melaluinya. Empirisme
memberikan cukup banyak dorongan pada perkembangan pada dunia sains dan juga
teknologi.
d.
Modernisme
Perbedaan
antara Rasionalitasme dan Empirisme coba diambil jalan tengahnya oleh Immanuel
Kant. Dia mengajukan sintesis a pripori. Menurutnya, pengetahuan yang benar
bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a pripori dan a
posteriori. Sebagai gambaran, kita melihat suatu benda dikarenakan mata kita
melihat ke arah benda tersebut (Rasionalitasme) dan benda tersebut memantulkan
sinar ke mata kita (Empirisme).
e.
Dialektika
Berbeda
dengan logika klasik atau yang juga dikenal dengan istilah analitika, dialekta
berawal dari proposisi-proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Ide dasar
dialektika sudah dicetuskan oleh Aristoteles dalam Organon-nya. Ia menyebutkan
sepuluh kategori yang membangun penalaran atau logika dialektika, yaitu :
substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, aksi,
dan keinginan. Sebagaimana Heraclitus mengatakan “everything flows”.
f.
Logika Simbolik
Logika
simbolik adalah ilmu tentang penyimpulan yang sah (absah), khususnya yang
dikembangkan dengan penggunaan metode-metode matematika dan dengan bantuan
simbol-simbol khusus sehingga memungkinkan seseorang menghindarkan makna ganda
dari bahasa sehari-hari (Frederick B. Fitch dalam bukunya “Symbolic Logic”).
Logika simbolis dikenal juga dengan istilah logika matematika. Logika
matematika membuat penalaran lebih terarah dan jelas tetapi secara konsep masih
mengikuti ilmu logika sudah ada sebelumnya. Sehingga walaupun logika ini lahir
di abad 19 M, konsep dasarnya masih sama dengan logika klasik Aristoteles(384 -
322 SM). Hanya saja, sekali lagi, logika simbolis menerangkan logika dengan
lebih rapi. Pengembangan dan diskusi yang terus dilakukan tidak mengubah konsep
dasar yang sudah ada. Sehingga wajar jika Cohen dan Nagel, dalam buku mereka
“An Introduction to Logic and the Scientific Method”, halaman vii, menyatakan :
"We do not believe that there is any non-Aristotelian logic in the sense in
which there is a non-Euclidean geometry, that is, a system of logic in which
the contraries of the Aristotelian principles of contradiction and the excluded
middle are assumed to be true, and valid inferences drawn from them."
Logika Hegel lebih dikenal dengan istilah formal logic. Ide dasar formal logic
terangkum dalam tiga hukum atau prinsip, yaitu:
1.
The law of identity ("A" = "A").
2. The law of
contradiction ("A" ≠ “¬A").
3. The law of the
excluded middle ("A" ≠ "B").
g.
Logika Modern
Di abad
ke-19, ada sejumlah upaya untuk memutakhirkan logika (George Boyle, Ernst
Schröder, Gotlob Frege, Bertrand Russell dan A. N. Whitehead). Tapi, selain
memperkenalkan simbol-simbol, dan beberapa penataan di sana-sini, tidak
terdapat perubahan yang mendasar di sini. Banyak klaim besar yang dibuat,
contohnya oleh para filsuf linguistik, tapi tidak terdapat banyak basis untuk
mereka. Semantik (yang berurusan dengan kesahihan sebuah argumen) dipisahkan
dari sintaksis (yang berurusan dengan apakah sebuah kesimpulan dapat ditarik
dari aksiom dan premis tertentu). Ini dianggap sebagai sesuatu yang baru,
padahal hanya merupakan pernyataan ulang dari pembagian kuno, yang telah akrab
bagi orang-orang Yunani Kuno, antara logika dan retorika. Logika modern
didasarkan pada hubungan logis di antara seluruh kalimat. Pusat perhatiannya
telah bergeser dari silogisme menuju argumen-argumen yang hipotetikal dan
disjungtif. Ini bukanlah satu lompatan yang dapat membuat orang yang melihat
menahan nafas. Kita dapat mulai dengan kalimat (penilaian) bukannya silogisme.
Hegel melakukan ini dalam Logic. Bukannya sebuah revolusi besar dalam
pemikiran, ia malah lebih mirip mengocok ulang satu tumpukan kartu yang telah
kusut karena dipakai berkali-kali.
Dengan
menggunakan analogi fisika yang superfisial dan tidak tepat, apa yang disebut
“metode atomik” yang dikembangkan oleh Russell dan Wittgenstein (dan yang
kemudian disangkal sendiri oleh orang yang disebut terakhir itu) mencoba
membagi bahasa menjadi “atom-atomnya”. Atom dasar dari bahasa menurutnya adalah
kalimat sederhana, yang merupakan penyusun dari kalimat-kalimat kompleks.
Wittgenstein bermimpi mengembangkan satu “bahasa formal” untuk tiap ilmu
pengetahuan – fisika, biologi, bahkan psikologi. Kalimat-kalimat ditempatkan
pada “uji kebenaran” yang berdasarkan hukum-hukum usang tentang identitas,
kontradiksi dan tanpa-antara. Dalam kenyataannya, metode dasar yang digunakan
masih tetap sama saja. “Nilai Kebenaran” adalah satu masalah “atau ini ... atau
itu”[1], masalah “Ya atau Tidak”, masalah “benar
atau salah”. Logika baru ini dirujuk sebagai kalkulus proposional. Tapi
kenyataannya sistem ini bahkan tidak mampu menangani argumen-argumen yang
sebelumnya dapat ditangani oleh silogisme yang paling dasar (kategorikal). Sang
Gunung telah melahirkan seekor tikus.
Kenyataannya
adalah bahwa bahkan kalimat sederhanapun tidak dapat dipahami, sekalipun ia
dianggap sebagai “batu penyusun materi” linguistik. Bahkan penilaian yang
paling sederhana, seperti yang ditunjukkan Hegel, mengandung pula kontradiksi.
“Caesar adalah seorang manusia”, “Fido adalah seekor anjing”, “pohon itu
hijau”, semua menyatakan bahwa yang khusus adalah sama dengan yang umum.
Kalimat itu nampaknya sederhana, sebenarnya tidak. Ini adalah tutup buku bagi
logika formal, yang terus saja berkeras untuk mengabaikan semua kontradiksi,
bukan hanya dari alam dan masyarakat, tapi juga dalam pemikiran dan bahasa itu
sendiri. Kalkulus proposional berangkat dari persis postulat yang sama dengan
yang digunakan oleh Aristoteles di abad ke-4 SM, yaitu, hukum identitas, hukum
(tanpa-) kontradiksi, dan hukum tanpa-antara, yang ditambahi hukum
negasi-ganda. Hukum-hukum ini tidak dituliskan dengan huruf biasa melainkan
dengan simbol sebagai berikut:
p = p
p = ⌐ p
p V = ⌐ p
⌐ (p ⌐ p)
Semuanya
terlihat sangat manis, tapi tidaklah membuat perbedaan sedikitpun dengan
hakikat silogisme. Terlebih lagi, logika simbolis itu sendiri bukanlah satu ide
baru. Di tahun 1680-an, otak filsuf Jerman Leibniz yang selalu subur itu telah
menghasilkan satu logika simbolis, sekalipun ia tak pernah mempublikasikannya.
Dimasukkannya
simbol ke dalam logika tidaklah membawa kita selangkahpun lebih maju, persis
karena alasan bahwa simbol-simbol itu, pada gilirannya, cepat atau lambat harus
diterjemahkan ke dalam kata-kata dan konsep-konsep. Mereka memiliki keuntungan
seperti tulisan steno, lebih praktis untuk operasi teknis tertentu, komputer
dan beberapa hal lain, tapi hakikatnya masih persis sama seperti yang
sebelumnya. Jaringan simbol matematis yang membingungkan ini diiringi oleh
jargon-jargon yang benar-benar muluk, yang nampaknya memang dibuat sehingga
logika tidak akan pernah dipahami oleh orang-orang kebanyakan, seperti
kasta-pendeta dari Mesir dan Babilonia yang menggunakan kata-kata dan simbol
kultus rahasia untuk menjaga agar pengetahuan mereka tidak bocor pada orang
lain. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa orang-orang Mesir dan Babilonia itu
memang benar-benar memiliki pengetahuan yang berharga untuk dimiliki, seperti
gerak benda-benda langit, apa yang tidak dimiliki sama sekali oleh para ahli
logika modern.
Istilah-istilah
“predikat monadik”, “pengkuantifikasi”, “variabel individu” dan lain-lain dsb.,
dirancang untuk memberi kesan bahwa logika formal adalah satu ilmu yang tidak
boleh dipandang enteng, karena ia tidak akan pernah dapat dipahami oleh
orang-orang kebanyakan. Kita harus benar-benar prihatin bahwa nilai ilmiah dari
satu sistem kepercayaan tidak berbanding lurus dengan ketidakjelasan bahasa
yang dipergunakannya. Jika itu yang terjadi, tiap ahli mistik-religius dalam
sejarah akan menjadi ilmuwan yang setaraf dengan gabungan Newton, Darwin dan
Einstein sekaligus.
Dalam
komedi karya Moliere, Le Bourgeois Gentilhomme, M. Jourdain terkejut kala
diberitahu bahwa ia telah berbicara dalam prosa sepanjang hidupnya, tanpa ia
sadari. Logika modern hanya mengulangi semua kategori kuno, dengan dibubuhi
beberapa simbol dan istilah-istilah yang enak didengar, untuk menyembunyikan
fakta bahwa sama sekali tidak ada sesuatupun hal baru dalam apa yang mereka
nyatakan. Aristoteles telah menggunakan “predikat monadik” (pernyataan yang
menyerahkan kepemilikan pada individu) sejak berabad-abad lalu. Tidak diragukan
lagi, seperti M. Jourdain, ia akan bergirang ketika tahu bahwa ia telah
menggunakan Monadic Predicate sepanjang hidupnya, tanpa ia sadari. Tapi hal itu
tidak akan membuat perbedaan apapun atas apa yang tengah dikerjakannya.
Penggunaan label-label baru tidaklah mengubah isi dari semangkuk selai. Pun
penggunaan jargon tidak akan meningkatkan kesahihan satu bentuk pemikiran yang
sudah terkikis jaman.
Adalah
satu kebenaran yang memprihatinkan bahwa, di penghujung abad ke-20, logika
formal telah mencapai batas terakhirnya. Tiap penemuan baru dalam ilmu
pengetahuan terus saja menghujamkan pukulan pada logika itu. Sekalipun
bentuknya diubah-ubah, hukum-hukum dasarnya tetap tidak dapat berubah. Satu hal
sudah jelas, perkembangan logika formal selama seratus tahun terakhir, pertama
melalui kalkulus proposional (Propotional Calculus), kemudian melalui kalkulus
proposional rendah (Low Propotional Calculus) telah membawa subjek tersebut
pada titik penyempurnaan sejauh yang dimungkinkan. Kita telah mencapai sistem
logika formal yang paling komprehensif, sehingga penambahan lain tentunya tidak
akan menyajikan sesuatupun yang baru. Logika formal telah menyatakan segala
yang dapat dinyatakannya. Jika kita berani mau jujur, ia telah mencapai tahap
itu beberapa waktu yang lalu.
Baru-baru
ini, basis telah bergeser dari argumen pada kesimpulan deduktif. Bagaimana
“teorema logika diturunkan”? Ini adalah landasan yang amat rapuh. Basis logika
formal telah diterima tanpa pertanyaan selama berabad-abad. Satu penyelidikan
yang menyeluruh atas landasan teoritik dari logika formal niscanya akan berakhir
pada perubahan logika itu menjadi lawannya. Arend Heyting, pendiri Aliran
Matematika Intuisionis, menolak kesahihan dari beberapa pembuktian yang
digunakan dalam matematika klasik. Walau demikian, kebanyakan ahli logika masih
terus berkeras untuk memeluk cara-cara logika formal yang usang itu, seperti
seorang yang berkeras memeluk sebatang jerami ketika ia sudah hampir tenggelam:
“Kami
tidak percaya bahwa ada logika yang non-Aristotelian dalam makna seperti adanya
geometri yang non-Euklides, yaitu, satu sistem logika yang mengasumsikan
kebalikan dari prinsip-prinsip logika Aristotelian, prinsip kontradiksi dan
tanpa-antara, sebagai kebenaran, dan dapat menarik kesimpulan-kesimpulan yang
sahih daripadanya.”
Ada dua
cabang utama logika formal saat ini – kalkulus proposional dan kalkulus
predikat. Keduanya berangkat dari aksioma, yang harus dianggap sebagai benar
“dalam semua bidang yang mungkin ada”, di semua keadaan. Ujian terakhirnya
tetaplah kebebasan dari segala kontradiksi. Segala hal yang kontradiktif akan
dianggap sebagai “tidak sahih”. Tentu hal ini memiliki beberapa penerapan,
contohnya, pada komputer yang dirancang untuk menjalankan prosedur ya atau
tidak yang sederhana. Pada kenyataannya, segala aksiom semacam itu adalah
tautologi. Bentuk-bentuk kosong ini dapat diisi dengan hakikat macam apapun
juga. Keduanya diterapkan dengan cara yang mekanistis dan memaksa terhadap
segala subjek. Ketika persoalannya menyangkut proses yang linear, keduanya
memang berjalan dengan baik. Hal ini penting, karena sejumlah besar proses
dalam alam dan masyarakat benar berjalan dengan cara ini. Tapi ketika kita
sampai pada gejala-gejala yang lebih kompleks, kontradiktif dan non-linear,
hukum-hukum logika formal runtuh. Akan segera nampak bahwa, jauh dari klaim mereka
bahwa merekalah “kebenaran di segala bidang yang mungkin ada”, mereka adalah,
seperti kata Engels, sangat terbatas dalam penerapan mereka, dan dengan cepat
akan terkupas kedangkalannya ketika berhadapan dengan gejala sebagai sebuah
totalitas keadaan. Lebih jauh lagi, persis inilah keadaan yang telah menyita
perhatian ilmu pengetahuan, khususnya bagian yang paling inovatif, di sebagian
besar waktu sepanjang abad ke-20.
Selain itu, ada beberapa pendapat yang membagi logika menjadi beberapa
aliran besar yakni:
a.
Aliran Logika Tradisional
Logika
ditafsirkan sebagai suatu kumpulan aturan praktis yang menjadi petunjuk
pemikiran.
b.
Aliran Logika Metafisis
Susunan pikiran itu dianggap kenyataan, sehingga
logika dianggap seperti metafisika. Tugas pokok logika adalah menafsirkan pikiran sebagai suatu tahap dari
struktur kenyataan. Sebab itu untuk mengetahui kenyataan, orang harus belajar
logika lebih dahulu.
c.
Aliran Logika Epistemologis
Dipelopori
oleh Francis Herbert Bradley (1846 - 1924) dan Bernard Bosanquet (1848 - 1923).
Untuk dapat mencapai pengetahuan yang memadai, pikiran logis dan perasaan harus
digabung. Demikian juga untuk mencapai kebenaran, logika harus dihubungkan
dengan seluruh pengetahuan lainnya.
d.
Aliran Logika Instrumentalis (Aliran Logika Pragmatis)
Dipelopori
oleh John Dewey (1859 - 1952). Logika dianggap sebagai alat (instrumen) untuk
memecahkan masalah.
e.
Aliran Logika Matematika
Logika
matematika adalah cabang logika dan matematika yang mengandung kajian matematis
logika dan aplikasi kajian ini pada bidang-bidang lain di luar matematika.
Logika matematika berhubungan erat dengan ilmu komputer dan logika filosofis.
Tema utama dalam logika matematika antara lain adalah kekuatan ekspresif dari
logika formal dan kekuatan deduktif dari sistem pembuktian formal. Logika
matematika sering dibagi ke dalam cabang-cabang dari teori himpunan, teori
model, teori rekursi, teori pembuktian, serta matematika konstruktif.
Bidang-bidang ini memiliki hasil dasar logika yang serupa.
Dipelopori
oleh Leibniz, Boole dan De Morgan. Aliran ini sangat menekankan penggunaan
bahasa simbol untuk mempelajari secara terinci, bagaimana akal harus bekerja.
Metode-metode dalam mengembangkan
matematika banyak digunakan oleh aliran ini, sehingga aliran ini
berkembang sangat teknis dan ilmiah serta bercorak matematika, yang kemudian
disebut Logika Matematika (Mathematical Logic). G.W. Leibniz (1646 - 1716)
dianggap sebagai matematikawan pertama yang mempelajari Logika Simbolik.
1.3.2 Logika Berdasarkan Sumber Pemikiran
a. Logika Alamiah
Logika alamiah adalah kinerja akal budi
manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh
keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan
logika alamiah manusia ada sejak lahir.
b.
Logika ilmiah
Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran
serta akal budi. Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas
yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah
inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah
dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau,
paling tidak, dikurangi.
1.3.3 Logika Berdasarkan Penalaran
a.
Penalaran Deduksi
Merupakan sistem penalaran yang menelaah
prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya serta kesimpulan
yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikirnya. Dalam
logika ini yang terutama ditelaah adalah bentuk dari kerjanya akal jika telah
runtut dan sesuai dengan pertimbangan akal yang dapat dibuktikan tidak ada
kesimpulan lain karena proses penyimpulannya adalah tepat dan sah. Logika
deduktif karena berbicara tentang hubungan bentuk-bentuk pernyataan saja yang
utama terlepas isi apa yang diuraikan karena logika deduktif disebut pula
logika formal.
b.
Penalaran Induksi
Logika induktif adalah sistem penalaran yang
menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai
pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut
juga logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip-prinsip penalaran yang
bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan, oleh karena itu kesimpulannya
hanyalah keboleh-jadian, dalam arti selama kesimpulannya itu tidak ada bukti
yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar, dan tidak dapat dikatakan pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar