Publikasi tersebut menyatakan bahwa pendaftaran perkawinan dan
perceraian penting untuk menjamin hak-hak perempuan dalam keluarga.
Selain itu juga penting dalam kaitannya dengan akses pelayanan publik.
Sebagai contoh, dokumen perkawinan (Buku Nikah) dibutuhkan untuk
memperoleh akta kelahiran anak-anak, yang dibutuhkan untuk mendaftar
sekolah dan untuk mendapatkan hak waris. Selain itu, juga dibutuhkan
dokumen perkawinan semacam itu untuk mengakses bantuan secara ekonomi
dari pemerintah yang ditujukan kepada rumah tangga miskin.
UNWOMEN menyitir survei anggota mereka yaitu LSM Pemberdayaan Perempuan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), yang menemukan data bahwa pernikahan yang sah diakui secara hukum ternyata kurang dari 50 persen. Data lainnya menunjukkan bahwa 86 persen kejadian perceraian tidak diselesaikan dengan prosedur hukum yang berlaku. Bahkan sekitar 56 persen anak-anak yang lahir tidak memiliki akta kelahiran.
Sepertiga dari anggota PEKKA yang hidup di bawah garis kemiskinan
menyatakan kesulitan mendapatkan akses dan layanan seperti perawatan
kesehatan gratis dan program bantuan langsung tunai. Pengadilan Agama
menangani sekitar 98 persen dari seluruh perkara perceraian di
Indonesia. Namun demikian, terdapat kendala yang menjadi penghalang bagi
perempuan untuk melakukan proses perceraian secara hukum, yaitu biaya.
Rata-rata total biaya untuk memperoleh perceraian melalui Pengadilan
Agama adalah sekitar Rp 800.000,- atau hampir empat kali pendapatan
bulanan orang yang hidup di garis kemiskinan. Hampir 90 persen perempuan
yang disurvei mengatakan bahwa mereka akan cenderung memanfaatkan
pelayanan pengadilan untuk dalam hal perceraian jika biaya perkara dapat
dibebaskan. Harapan lain adalah diadakannya pengadilan keliling
(bergerak) di daerah-daerah terpencil, sehingga mudah dijangkau bagi
mereka yang sulit pergi ke pengadilan terdekat.
PEKKA bekerja sama dengan Bank Dunia dalam Program Keadilan Bagi
Masyarakat Miskin dalam melakukan promosi dan kampanye agar sadar hukum
serta memberikan dukungan praktek agar memungkinkan bagi perempuan
untuk mengakses pengadilan agama. Peran para pemangku kepentingan
seperti hakim, polisi, pemerintah daerah dan LSM untuk meningkatkan
koordinasi dan
meningkatkan layanan keadilan penyedia juga diperlukan. Dalam hal ini
PEKKA terus berupaya menjalin komunikasi dengan pemerintah daerah dan
pemerintah pusat untuk perubahan.
Mahkamah Agung telah meningkatkan jumlah pengadilan keliling di
daerah pedesaan dan terpencil dan telah memberlakukan kebijakan bebas
biaya perkara bagi masyarakat miskin. Selama dua tahun terakhir,
anggaran untuk Pengadilan Agama telah meningkat hingga 18 kali untuk
melakukan program-program pembaruan. Bahkan antara tahun 2007 dan 2010,
jumlah orang miskin yang mengakses Pengadilan Agama telah meningkat
hingga 14 kali lipat.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar