Telaah
Aksiologi Demokrasi
Oleh: Dayanto*)
(Dosen Fakultas
Hukum Unidar Ambon)
Dengan demikian isu konsolidasi demokrasi lebih
menghujam pada diskursus yang tidak saja ontologis, tetapi juga aksiologis, dan
metodologis secara sekaligus. Artinya isu konsolidasi demokrasi secara
sekaligus adalah diskursus mengenai apa yang menjadi tujuan (aksiologi) dari agenda konsolidasi
demokrasi ini serta bagaimana tahap menuju (metode) konsolidasi demokrasi yang
menjadi kesatuan logis dari tujuan konsolidasi demokrasi.
Tulisan ini menelaah secara singkat dua tipikal
demokrasi dilihat dari sisi aksiologi yang dibangun berdasarkan
asumsi-asumsinya yang khas.
Demokrasi Prosedural
Publikasi Freedom Institute dan majalah “the
economics” dapat terafirmasi ketika konsolidasi demokrasi diletakkan pada jalan
pikiran proseduralistik atau yang lebih dikenal dengan label demokrasi
prosedural. Dimana demokrasi menurut jalan pikiran ini adalah instalasi
lembaga-lembaga demokratis plus aturan main demokratis yang memungkinkan setiap
warga dapat berkontestasi memperebutkan jabatan-jabatan politik. Bagi
Schumpeter misalnya, demokrasi adalah tekhnis politik dalam pergantian rezim
secara tertib dan damai, dimana si pemenang memperoleh legitimasi untuk
berkuasa dan si kalah memberikan kesempatan kepada si pemenang untuk berkuasa
sesuai limitasi periode kekuasaannya.
Asumsi-asumsi demokrasi prosedural ini dibangun
dalam kerangka pemahaman bahwa: Pertama, partisipasi politik harus
terkuantifikasi berdasarkan jumlah pemilih (voter),
bukan soal apakah seseorang itu adalah pemilih kritis yang memiliki otonomi
pilihan dan ketercukupan informasi dalam menentukan preferensi politiknya
ataukah pemilih yang sudah dibeli (buying
voter) yang preferensi politiknya ditentukan oleh “amplop” dan “sembako”.
Kedua, pengabaian
terhadap apa yang dikatakan oleh Lynn Karl sebagai kekeliruan elektoralisme.
Yakni kecurangan yang secara sistematis dan by
design dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki akses kuat terhadap
penyelenggaraan elektoral (anggota KPU/Panwas, incumbent dan birokrasinya, Parpol, dsb).
Ketiga, mengenai
prasyarat menjadi kontestan politik demokrasi prosedural berbasis pada kriteria
normatif yang diatur dalam UU. Soal Si kontestan memiliki kapasitas yang
unggul, baik visi maupun dalam bentuk karya yang mendatangkan benefit bagi
publik bukanlah hal penting, walhasil banyak incumbent yang sekalipun dianggap gagal tanpa malu-malu tetap
mencalonkan diri menjadi kontestan.
Keempat, selain itu
demokrasi prosedural sebagai demokrasi yang minimalis (minimalis democracy) mempertegas distingsi antara demokrasi dengan
isu-isu seperti pencapaian kesejahteraan rakyat, peningkatan daya saing bangsa,
dsb. Bagi demokrasi prosedural, demokrasi adalah alat (tools) untuk dirinya sendiri. Implikasinya demokrasi diandaikan
sebagai agenda yang bebas nilai dari tujuan-tujuan eksoterik diluar dirinya.
Demokrasi Substansif
Berbeda dengan asumsi-asumsi yang dibangun oleh
demokrasi prosedural di atas demokrasi substansif lebih berbasis pada upaya
memberdayakan eksistensi individu dan sosial warga negara sebagai subjek-pelaku
demokrasi. Dengan demikian demokrasi tidak bisa dipisahkan dari sisi
eksoterisme yang melingkupi dirinya, terbalik dengan asumsi penganut demokrasi
prosedural yang mengandaikan demokrasi semata-mata sebagai tekhnis politik.
Sisi eksoterisme ini merupakan entitas yang
terbangun dengan sendirinya (built in) dalam
keutuhan eksistensi warga negara sebagai manusia. Aristoteles mengingatkan
bahwa hakekat tujuan bernegara adalah demi menciptakan kebahagiaan publik (bonnum publicum).
Dengan demikian demokrasi tidak bisa dipisahkan
dari upaya membangun welfare state dalam
sebuah negara. Demokrasi harus peduli dengan kondisi rakyat yang kelaparan,
kesulitan mendapatkan pekerjaan, kesulitan menikmati pendidikan ataupun
kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan. Demokrasi harus peduli terhadap
ekonomi negara yang terus membungkuk, martabat bangsa yang kian dilecehkan oleh
negara lain, serta nasib negara hukum (nomokrasi)
yang semakin tergilas oleh kekuatan kleptokrasi yang menggila.
Demokrasi substantif bekerja berdasarkan pemuliaan
eksistensi warga negara sebagai manusia subjek demokrasi bukan pembendaan (reifikasi) manusia, yang merepresi
preferensi politik warga negara dengan membagi-bagi duit (money politic). Praktek politik seperti ini adalah penghinaan,
pelecehan, dan penodaan yang keji terhadap martabat politik warga negara
sebagai manusia subjek-pelaku demokrasi. Bagi demokrasi substansif idea dalam politik adalah segala-galanya
sebagai perwujudan kesatuan manusia sebagai makhluk berpikir dan makhluk
berpolitik. “Aku berpikir maka aku berpolitik” sebagai manifesto antitesis atas
dogma “Aku dibayar maka Aku berpolitik”. Demokrasi ini sekaligus dapat menjadi
sumber nilai, ide, dan inspirasi untuk membangun sektor perlawanan yang efektif
terhadap segala daya-upaya pendangkalan politik yang machiavelistik.
Dengan demokrasi substansif, jabatan-jabatan
politik merupakan arena utama untuk mengabdi dan mendatangkan benefit bagi
publik. Dalam jalan pikiran ini, kompetisi politik adalah kompetisi karya dan
prestasi, bukan sebaliknya perang citra dan obral janji yang kosong substansi.
Sikap preventif dapat terbangun bagi calon kontestan yang sedang berkuasa
ataupun ingin berkuasa untuk lebih awal melakukan evaluasi diri (self evaluation) sebelum benar-benar
memastikan diri untuk menjadi kontestan demikian juga secara multipler effect kepada partai dalam
memastikan kontestannya. Partisipasi, kontestasi, dan liberasi politik dalam
demokrasi tidak bermakna apa-apa jika demokrasi tereduksi menjadi
semata-mata tekhnis politik. ***
(Harian Rakyat Maluku, 8 Maret 2013)
karenanya, jika demokrasi tidak mengatasi bentuknya yang hanya sekedar mengabsahkan sebuah kekuasaan belaka, maka proseduralisme demokrasi juga mengandung sebuah ancaman laten.
BalasHapusPertama, demokrasi akan dibajak mereka yang sejatinya anti demokrasi, sehingga pembajak setelah berkuasa akan “membakar jembatan dan tangga” untuk mencapai kekuasaan itu.
Kedua, demokrasi akan dibajak orang-orang kaum berpunya, sehingga pemenang dalam tarung demokrasi adalah mereka yang bermodal dan pemodal itu sendiri. Demokrasi akhirnya keluar dari tujuannya, dengan pelanggaran masih banyak terjadi dan demokrasi hanya sebatas dimaknai terlaksananya Pesta Demokrasi meskipun itu dilakukan dengan segala kecurangan. Sindiran para ahli politik dengan istilah defisit demokrasi, seremonial demokrasi, politik biaya tinggi (mahal), ironi demokrasi, demokrasi semu, dan lain sebagainya merupakan gambaran wajah demokrasi lokal kita saat ini.